Danielle: Mama, I want a baby.
Antonia: How about a husband to go with it?
Danielle: No.

~ penggalan dialog dari film Antonia’s Line (1995) ~

_______


TENTANG ANTONIA

Saya tidak tahu apa yang tengah berkecamuk dalam benak feminis Marleen Gorris ketika ia menulis naskah Antonia’s Line. Yang jelas, film Belanda ini kemudian berhasil menyabet Oscar sebagai film berbahasa asing terbaik di tahun 1996—bersama sederet penghargaan bergengsi lainnya; seperti People’s Choice Award di Toronto International Film Festival dan Golden Calf (Gouden Kalf) Award di Nederlands Film Festival.

Antonia’s Line mengisahkan kilas balik kehidupan Antonia (diperankan Willeke van Ammelrooy) dan putrinya Danielle (Els Dottermans)—karakter perempuan-perempuan dengan pandangan hidup dan pemikiran yang ‘berbeda’ dari kebanyakan penduduk di daerah tempat tinggal mereka.

Sampai Anda berhasil menonton sendiri filmnya, sementara ini sepenggal dialog di atas rasanya sudah cukup untuk merepresentasikan ‘perbedaan’ yang dimaksud.

Kesuksesan Antonia’s Line, bisa jadi, juga turut dipengaruhi oleh kedekatan tema yang diangkat film ini dengan euforia kebebasan yang marak di tahun ’90-an. Termasuk di dalamnya, adalah kebebasan untuk menjadi berbeda, dan untuk menyikapi perbedaan tersebut.

Aren't we all different?BERBEDA ITU BAIK

Ungkapan ‘tak kenal maka tak sayang‘ kemudian menjadi relevan dalam menyikapi perbedaan; karena konsep toleransi bukanlah semacam paksaan atau kewajiban yang hanya tertera dalam buku-buku mengenai Pancasila dan kewarganegaraan. Toleransi yang memungkinkan terwujudnya Bhinneka Tunggal Ika justru terbangun karena adanya pengertian akan perbedaan; sementara pengertian itu sendiri baru bisa didapatkan melalui dialog dan interaksi antara individu-individu yang memiliki perbedaan.

Lantas, jika pendidikan kemudian ditujukan sebagai salah satu upaya untuk membangun toleransi dan pengertian, bukankah ini berarti institusi pendidikan  memerlukan paparan (exposure) yang cukup terhadap perbedaan?

Hal ini membuat saya teringat kisah-kisah teladan dalam buku-buku Pendidikan Moral Pancasila semasa duduk di sekolah dasar dulu; di mana Ahmad yang beragama Islam membantu Yohanes yang beragama Kristen membersihkan gereja, dan Bagus yang beragama Hindu meminjamkan sarung kepada Ahmad yang hendak menunaikan shalat Ashar.

What a wonderful world, begitu mungkin kata Louis Armstrong dengan suaranya yang serak-serak basah.

Inilah landasan pemikiran yang membuat saya berpendapat bahwa sekolah-sekolah umum (atau bahkan kawasan hunian) yang multikultural (dan tidak mengeksklusifkan diri untuk satu kepercayaan atau kelompok tertentu saja), akan membangun pribadi-pribadi yang jauh lebih toleran.

Utrecht's summer schoolMENIKMATI PERBEDAAN

Kesempatan mengenyam pendidikan dalam lingkungan yang toleran dan mendukung interaksi multikultural inilah yang kemudian dijadikan unique selling proposition (USP) oleh Belanda, ketika memasarkan diri sebagai negara tujuan studi. Dan bukannya tanpa alasan jika mereka kemudian berani mengedepankan faktor multikultural dan keberagaman ini sebagai nilai tambah.

Komitmen Nederland dalam membangun citra sebagai negara tujuan studi multikultural sudah dapat dilihat sejak tahun 1950; ketika mereka menjadi negara tidak-berbahasa-Inggris pertama yang menawarkan berbagai program studi dalam bahasa Inggris.

Tentunya, pilihan ini memberikan kemudahan bagi pelajar-pelajar dari berbagai belahan dunia untuk datang ke Belanda dan mengikuti proses belajar-mengajar dalam bahasa Inggris di sana. Sebagai bonusnya, mereka juga bisa sekaligus menyerap percakapan dalam bahasa Belanda melalui pergaulan santai sehari-hari.

Ya, meski bahasa Belanda merupakan bahasa resmi di negeri ini, komunikasi  tak lantas menjadi kendala, mengingat hampir 70% penduduk negeri kincir angin ini menguasai bahasa Inggris dengan baik. Ini menjadikan Belanda negara yang relatif lebih ‘ramah’ bagi siswa pendatang, jika dibandingkan dengan negara tetangganya seperti Jerman, Perancis, Italia, atau Belgia. Ditambah lagi, diploma yang dikeluarkan institusi pendidikan di Belanda telah diakui secara internasional.

Paparan yang intens terhadap individu-individu dari latar belakang bangsa, budaya, bahasa, dan kepercayaan yang berbeda inilah yang sesungguhnya menyiapkan kita menghadapi keragaman dunia dan melatih diri untuk mempraktekkan toleransi. Bukan toleransi basa-basi; tetapi toleransi sungguhan berbungkus empati—yang hanya bisa dicapai dengan interaksi untuk mencoba mengerti.

Spacebox Student HousingUNTUK MENGERTI

Saya pun membayangkan diri memandang ke luar jendela dari kotak berukuran 18 meter persegi di De Uithof Utrecht; Spacebox®-nya Mart de Jong—konsep rumah murah dan fleksibel  yang membuat segalanya terasa lucu dan imut-imut.

Mendamparkan diri di sekitar Oudegracht, saya akan menyusuri kanal tua itu perlahan pada suatu siang hari yang cerah di pertengahan tahun. Seraya menikmati drop (permen akar manis) dan mengayun-ayunkan setangkai tulip di tangan kanan, saya akan melangkah ringan dan berbincang dengan ‘Antonia-Antonia’ yang saya temui dalam perjalanan, mencoba untuk saling memahami.

Di atas kepala-kepala kami yang berdekatan, gesekan dedaunan membawa suara Anita Doth menyanyikan Spread Your Love:

Love is the key, set yourself free
So won’t you listen to me, when I say, when I say
Spread your love all over the world now
All over the world! Yeah!

Di kejauhan, angin musim panas bertiup memutar kincir.

————————–

Gambar diambil dari:
http://i17.ebayimg.com/06/i/001/32/3a/ac2b_1.JPG
http://www.utrechtsummerschool.nl/img/sidebar/46big.jpg
http://www.spacebox.info/index.cfm?lng=en&mi=3&pmi=8

hanny

37 Responses

  1. @chic: wahhh, pinginnnn 😀 oleh2 tulip kering? 😀 hihihi

    @cK: ayo, chik, wacky weekend eps. netherlands! 😉

    @Pitra: begitulah kira-kira, kayaknya ada badge-nya, deh. kurang gede, ya? 😀

  2. @warm: that is such a ‘warm’ comment hehehe 😉

    @didut: abis saya ga bisa ikutan Bloggership (nottalking) hehehe :p

    @rusa: amiiiiin 🙂

    @steisi: pingin yah ngerasain tinggal di Spacebox ituuuhh, ya ampun, lucu banget, sebenernya orang emang ga butuh space gede-gede, ya, segitu aja cukup, kok. mana interiornya juga bagus. kenapa Indonesia ga bikin kos-kosan buat mahasiswa kayak begitu aja, ya, steis? biar lebih murah dan terjangkau, tapi tetap nyaman, dan bisa ditempatkan di area sekitar kampus… *lirik world bank*

    @iman: doh, ngojek ke kuningan dong hehehe 😀

  3. wah..wah..

    perbedaan memang baik,, tapi ga semua perbedaan itu bisa diterima.. maksudnya, kadang2 sesuatu perlu seragam dan bukannya berbeda.. 😉

    still anyway,, saya juga pengen pergi ke belanda!

  4. @wazeen: emang big jury-nya sapahhh? (woot)

    @titiw: belum lewat, bukannya sampai 30 April? ayo buruan submit, bikin postingan! 🙂

    @deeedeee: iya, aku juga pengen nyobain tinggal di sana, lucu ya, kayak satu kamar gitu 🙂

    @dilla: amiiinnn. spacebox-nya lutuuu banget! nggemesin! dilla ikutan juga doooong bikin postingan 🙂 *nari pom2 buat dilla*

    @ian: hihihi beneran bisa ditinggalin, kok. smart concept! 😉 alternatif hunian murah terutama buat mahasiswa, jadi kayak tempat kos2an ya, interiornya bagus, kok. coba aja buka link web-nya yang aku pasang di atas 🙂 I would love to live in one of those boxes!

    @mas stein: yang belanda ini sih masih ngarep, mas! hihihi. kalo bangkok rusuh harusnya di sana jadi lebih murah ya kalo mau jalan-jalan. hihihi, tinggal pakai kaos merah ajah 😉

    @billy: satu-satunya hal yang seragam di dunia ini adalah kenyataan bahwa kita semua berbeda! yuk, kita pergi ke belanda, yuuuukkkk 🙂

  5. spaceboxnya luchu banget yah… kayaknya praktis kalo tinggal di tempat semacam ituh…

    gut lak ya hanny…

  6. @ade: hihihi, baiklah *jualan drop* 😀 *finger crossed*

    @bocahbancar: belum tau beneran keren atau nggak, belum pernah ke sana hihihi, keliatannya sih keren, ya? 😀

    @kiraitomy: 😀

    @huang: iya, perbedaan bikin hidup jadi lebih indah, kan? 😉

    @fairyteeth: iya, pengen ngerasain tinggal di situ dan foto2, thanks for the wishes! 🙂

    @sari: iya, ya. kepikiran hal yang sama, dan harganya juga kan bisa dibikin terjangkau buat mahasiswa…

    @banditkesiangan: exactly! 🙂

    @zaM: he-eh, lucu, ya… kayak mainan, belum percaya bisa ditinggalin beneran kalo belum tinggal di dalamnya 😀

  7. spacebox, eh? if i lived there, i would definitely need some tree around. setidaknya itu akan membuat saya merasa lebih manusia daripada wall-e 😉

  8. menarik banget! dan unik! banyak orang yang takut berbeda sekarang.
    Tapi kalo berbedanya mainstream ya sama aja ya hehe..

  9. eh selamat…baru tahu kl km anak belanda juga…S1 yah, angkatan brapa??? duh dunia ternyata sempit ya….tukeran link dong han

    bukan, bukan anak sastra belanda 😀 hehehehe, tapi salam kenal anyway!!! ^o^

  10. waaah mantabs ya hidup dan belajar di sana.. jdi pengen negh… doakan saya moga bisa dpat beasiswa s2 di sana. Sekarang masih s1 sih, 2 th lagi. Doakan doakan doakan! 🙂

    salam kenal

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP