Bukannya tanpa alasan jika saya paling menikmati hari terakhir AXIS Java Jazz 2009 pada hari Minggu, 8 Maret kemarin—bahkan lebih menikmatinya ketimbang special show Jason Mraz pada hari Jumat yang sudah ditunggu-tunggu itu. Pada hari penutupan perhelatan jazz terbesar di Indonesia (dan kabarnya di dunia ini), saya memang berkesempatan untuk menjelajah belasan panggung di Jakarta Convention Center sendirian.

picture-262

Pada hari Minggu sore hingga malam yang berhujan itu, dengan blus, celana pendek, sandal jepit, dan tas selempang, saya melawan arus ribuan orang yang hendak menyaksikan penampilan Brian McKnight, Tompi, atau Maliq & D’essentials.

Meskipun beberapa kawan saya juga tengah berada di acara yang sama, saya memilih untuk ‘melarikan diri’ sendirian, memuaskan selera bermusik saya sendiri, tanpa perlu mentoleransi selera bermusik orang lain. Bagaimanapun, ini sudah hari terakhir. Dan saya sudah berjanji pada diri sendiri bahwa di perhelatan Java Jazz hari terakhir ini saya tidak akan menonton pertunjukan band lokal.

Bukannya tidak suka, hanya saja… sayang, rasanya. Ada begitu banyak musisi internasional yang berhasil didatangkan ke Jakarta, dan mungkin tidak akan bisa kita lihat lagi penampilannya kecuali di Java Jazz ini. Jadi mengapa tidak memuaskan diri dengan melihat penampilan mereka?

Sore yang menyenangkan itu diawali ketika saya memasuki ruangan tempat Tom Scott dan Paulette McWilliams bermain. Di awal, baru Tom Scott dan band-nya saja yang berada di atas panggung. Saya pun duduk lesehan dengan santai, mendengarkan mereka bermain. Baru sekitar setengah jam berikutnya Tom mengundang Paulette untuk naik ke atas panggung. Setelah Paulette—dengan suaranya yang berat dan jazzy—membawakan 1-2 lagu, saya tertegun. Merasa mengenali lagu berikut yang hendak dibawakan Paulette, lalu turut menyanyi…

Build your dreams, to the stars above. But when you need someone true to love, don’t go to strangers, darling, come home to me.

Ah, itu kan Don’t Go to Strangers-nya Chaka Khan!

Play with fire till your fingers burn, but when there’s no place for you to turn, dn’t go to strangers, darling, come home to me. For when you hear a call to follow your heart, you’ll follow your heart I know. I’ve been through it all and I’m an old pro, and I’ll understand if you go. So make your mark for your friends to see, but when you need a little more than company, don’t go to strangers. Darling, come home to me…

Dari sini kemudian saya sempat luntang-lantung sebentar sebelum akhirnya terdampar di Cendrawasih—yang menampilkan World Music. Kali ini penampilnya berasal dari Austria, Parov Stelar, yang memadukan antara techno dengan tiupan saxophone yang jazzy dan upbeat. Suasana di Java Jazz pun segera berubah hingar-bingar dan ruangan dipenuhi para clubbers dadakan.

Penampilan saxophonist dan DJ yang sama-sama berstamina prima dan penuh energi seperti menular ke seluruh penjuru ruangan.

Setelah penampilan Parov Stelar yang menghentak-hentak, saya pun mendamparkan diri di AXIS Lounge untuk men-charge telepon genggam dan makan malam sebentar. Dari sana, sekitar pukul sembilan, saya pun bergegas menuju Exhibition Hall untuk menyaksikan penampilan band asal Jepang, Soil & Pimp.

Duduk sambil meluruskan kaki di atas karpet, saya pun menyaksikan satu lagi penampilan yang cukup upbeat dan enerjik dari Soil & Pimp, dengan interaksinya yang cukup seru dengan penonton (Soil! Soil! Soil! Soil! – dan bass betot-nya). Selama satu jam penuh, saya menikmati penampilan mereka yang mengesankan dari kejauhan, sebelum akhirnya ruangan dipadati para ABG yang hendak menyaksikan Maliq & D’essentials yang kebagian manggung sesudahnya.

Saya pun menyelinap keluar dari ruangan dan berkelana lagi hingga mendengar tiupan saxophone yang menarik hati. Dan masuklah saya ke sebuah ruangan yang tidak terlalu padat—malah bisa dikatakan cenderung sepi, sehingga saya bisa berdiri tepat di depan panggung. Dan di situlah, di atas panggung, Eric Darius bermain dengan luar biasa! He’s sooo talented (and handsome, too)!

picture-281

Kerumunan penonton yang tak seberapa banyak pun berdansa diiringi Eric dan band-nya, yang membuat saya merasa seolah terlempar ke dalam film Ray (menceritakan kehidupan musisi soul Ray Charles). Di manakah di Jakarta, Anda bisa menemukan klub jazz yang memungkinkan orang-orang untuk berdansa mengikuti musik? Ada yang tahu? Jelas bukan di Black Cat-Senayan sana.

Setelah memainkan beberapa buah lagu, tiba-tiba Eric duduk di pinggir panggung, masih meniup saxophone-nya, lalu turun ke tengah-tengah penonton! Penonton pun langsung merubung Eric, hanya menyisakan cukup tempat baginya untuk bermain sax—dan ke mana Eric pergi, kerumunan kecil penonton mengikutinya, mengelilinginya seperti ikan remora mengerumuni ikan paus.

Saya yang berada di sisi kiri panggung pun hanya bisa melihat dari kejauhan ketika kerumunan tersebut bergerak. Dan bergerak ke arah kiri! Ke arah saya! Dan betapa terkejutnya saya ketika Eric tiba-tiba berdiri di hadapan saya, dengan jarak yang sangat dekat, meniup saxophone-nya di depan wajah saya!

Oh, saya langsung salah tingkah selama 30 detik yang terasa sangat lama itu!

Hanya bisa mematung dan takjub—bahkan dengan bodohnya tidak mengambil kamera dan mengabadikan momen itu! Padahal jika mau, saya bisa mengambil foto diri dengan Eric yang bermain saxophone (seakan-akan hanya) untuk saya! Sungguh bodoh bagaimana fungsi tubuh dan otak tidak dapat bekerja normal pada saat-saat seperti itu!

Dan inilah Breathe, lagu favorit saya, yang ada di dalam album terbaru Eric, Goin’ All Out:

Menikmati waktu yang berputar sendiri ternyata memang menyenangkan. Saya pernah lupa betapa nikmatnya kesendirian hingga dihancurkan berkeping-keping oleh keramaian. Kesendirian mungkin tidak selamanya mendatangkan kebahagiaan, tetapi setidaknya kesendirian tidak menyakiti.

Just me, my memories, my thoughts… music… words…  photographs…

Cukup, setidaknya untuk sementara waktu.

Saya masih bersenang-senang dengan kesendirian itu hingga lewat tengah malam, bersantai di Cendrawasih menikmati penampilan Something Relevant dari India.

hanny

19 Responses

  1. mau Jazz club yang memungkinkan kita bergoyang? ada tuh di Wijaya I, namanya The Nine Muses. Tapi makanannya mahaaaal… 😆

  2. @billy: sibuk foto2 sihhh 😀
    @chic: emang Nine Muses ada jazz-nya? makanannya sih emang mahal, udah gitu fine dining gitu, lagi, ga nendang hehehehe 😀

  3. sebel, aku mesti ngeliput artis yang mainstream. udah ada di list kerjaan. jadi gak bisa kelayapan ke mana-mana… 🙁

  4. btw pas soil & pimp, aku sempet tidur. rebahan di lantai karpet exhibition hall. asik banget bobo ditemani lagu jazz… :mrgreen:

  5. music jazz musiknya orang berrrrrr uang, membuat ngantuk dan tidur lelap orang yg keletihan, tapi postingan ini membuat pembacanya lek-lekan alias tak tidur seharian

  6. Jujur saja, utk Java Jazz di 2 hari pertama, saya malah lebih suka kalau berjalan keliling sendirian, menikmati yg saya suka, dan tidak mengikuti keramaian teman. Hihi, maaf, pas pada nonton Ran kemarin, terus terang saya males banget. Namun, nggak enak juga karena sudah pada ngumpul, masa ya saya meninggalkan sendirian. Agak kesal juga karena gara2 itu saya melewatkan duet Dewa Budjana & Tohpati.

    Namun paling nikmat di hari kedua itu adalah saat menikmati Quasimode, sendirian. Plus bonus, dengan sendirian pun, hunting foto jadi lebih leluasa. Ah, andaikan hanny dan adit berbaik hati utk memberikan tiket hari ketiga 😀

  7. saya tidak mengerti sebagian besar isi postingan diatas… karena memang tidak mengikuti perkembangan musi jazz, secara jes hater gituh, hahahaha

    tp slamet deh buat kesuksesan acara tersebut…

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP