~ Sabtu, 14 Maret 2009. Wat Arun. You’re my temple, I’m the worshiper.~

Ada pagi yang merona dalam sepiring telur orak-arik dan segelas jus jeruk. Juga asam selai stroberi di atas roti gandum yang cuma dipanggang sebentar.

Selamat pagi, D!

Dan selamat pagi juga kepada kotak-kotak makanan Cina di dalam kulkas yang tersisa dari malam sebelumnya! [Apakah kamu tengah memanaskannya di dalam microwave?]

Bangkok di pagi hari seperti kamu yang menggeliat ketika penat. Seulas mendung membuat segalanya sempurna. Dari balik jendela, saya melihat imitasi Jakarta yang lebih ramah; tanpa tumpukan sampah.

Morning in Bangkok

Berjalan kaki dengan sandal jepit dan kain batik melilit di pinggang, saya mengagumi Wat Arun (วัดอรุณ) yang menjulang hingga ketinggian 104 meter. Aruna, nama suci dewa Hindu untuk “subuh” (padahal Wat Arun adalah kuil bagi umat Budha)—menjelma dalam prang atau pagoda bergaya Khmer yang dilapisi kulit kerang dan porselen bernuansa Cina.

Wat Arun

picture-24

Saya memanjat naik, melewati tangga-tangga curam yang sempit, berhenti sebentar ketika angin kencang meniup kain batik saya ke atas (and my mind went to you, Norma Jean!), memandangi sungai Chao Praya di bawah sana, dan seorang turis Kaukasia menawarkan diri untuk memotretkan saya dengan latar belakang pemandangan itu.

D, saya berharap suatu hari nanti seseorang akan menciptakan kamera yang bisa menangkap gambaran dalam benak kita; sehingga akan ada kamu juga di sana, tercetak dalam hasil akhirnya, dan saya tidak sendiri. Bahwa pada akhirnya, kita akan berdiri bersisian dalam satu frame yang sama.

picture-32

Ada sebuah Sabtu pagi yang jauh, ketika kita terdampar di sini. Saya dengan buku catatan dan pensil—duduk di sisi anak tangga di ketinggian, menahan halaman-halaman yang beterbangan, bercakap dengan imaji. Dan kamu—dengan kamera semi SLR-mu itu, menangkap semua yang indah menurutmu. Angin kencang itu membuatmu mengurungkan niat untuk naik lebih tinggi lagi.

I can no longer see you from up there. It’s a bit scary, you know,” katamu seraya menjatuhkan diri dua anak tangga lebih rendah dari saya.

Nice try. You’re just afraid of heights,” saya tertawa. “Ayo, kita pergi dari sini. Saya haus.”

picture-52

Kita pun berjalan menuruni kuil dengan langkah-langkah ringan sambil bernyanyi,

In the wee small hours of the morning
While the whole wide world is fast asleep
You lie awake and think about the boy
And never ever think of counting sheep

When your lonely heart has learned its lesson
You’d be his if only he’d call
In the wee small hours of the morning
That’s the time you miss him most of all

Di luar, orang-orang lalu-lalang. Seorang perempuan Thai menawarkan diri untuk memotretkan kita dalam balutan busana tradisional; tetapi kamu berkata, “Mai ow khrab“, kemudian kita berlari menuju gerobak pedagang kelapa muda, dan dengan 20 baht saja, beberapa detik kemudian kita telah menyesap air kelapa muda segar dari batoknya dengan dua buah sedotan berwarna merah jambu norak, lalu tersenyum kepada satu sama lain dan berkata,”Gee, what a life!”

duay khwaam rak lae khit theung kha*,
H.
—————–
*Thai for “with love, and missing you”

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

~ Jumat, 13 Maret 2009. Menghabiskan malam di Bangkok.~

D,

Terjepit di dalam taksi bersama serombongan teman, saya masih bisa memandangi Bangkok di waktu malam. Semua ini mengingatkan saya pada Jakarta di malam hari, dengan billboard yang menyala dalam gelap, menampilkan aksara Thai yang tidak saya mengerti (dan saya bertanya-tanya, langit macam apa yang tengah kau pandangi detik ini?).

Inilah sebuah dunia yang sama sekali lain, D. Sebuah planet kecil di Asia Tenggara berjarak 3.5 jam lintas udara saja, tempat kau bisa merasa sangat sendiri. Sangat satu-satunya. Kau bisa melupakan kemungkinan untuk berkomunikasi secara lancar dengan para pengemudi taksi di sini. Mereka pun kesulitan membaca petunjuk alamat dalam aksara Latin.

Tetapi bukankah ini justru menjelma sejenis surga pengasingan yang selalu kita cari, D? Dan bukankah saya selalu jatuh cinta pada film Lost in Translation?

Saya hanya singgah sebentar untuk meletakkan koper dan menyegarkan diri sebelum meninggalkan Hotel Heritage, tak jauh dari stasiun Chong Nonsi, di 193 Soi Narathivas Road. Tak lama kemudian, saya sudah memandang ke luar jendela dari van yang membawa saya menuju Suan Lum Night Bazaar di Lumpini; menikmati makan malam di Naatayasala Terrace, restoran yang terletak di teras teater boneka Joe Louis (I hate human-looking puppets; give me the creeps).

Kamu akan menyukai tempat ini, D. Dengan kaos oblong, sandal jepit, dan bir Singha di tangan, kamu akan menyerupai penduduk lokal. Takkan ada yang menyangka bahwa kau seorang turis, hingga mereka melihatmu sibuk mengambil gambar dengan kamera SLR-mu itu dan berbicara dalam bahasa asing.

Mendekati tengah malam, saya dan rombongan kawan beranjak menuju Khao San Road yang dipenuhi pub dan emperan pinggir jalan. Dan tiba-tiba saja saya merasa tengah berada dalam salah satu adegan film The Beach.

Khao San Rd.

Di segala arah, kamu bisa melihat berbagai jenis manusia dari berbagai ras, dengan berbagai gaya, dan berbicara dalam berbagai bahasa, tergeletak begitu saja di sepanjang trotoar sambil menyesap cocktail beramai-ramai dari ember-ember plastik yang diberi sedotan.

Ini adalah Kuta, adalah Legian minus kemewahannya.

Ini adalah dunia orang-orang yang cuma diberi kesempatan untuk hidup sehari. An escape mungkin tidak selamanya berarti melarikan diri, tetapi kebebasan semacam ini memang seperti candu, kan, D? Apakah hidup-untuk-hari-ini cuma boleh dikecap sesekali?

Mungkin itulah sebabnya film The Beach berakhir dengan semua orang meninggalkan ‘the hidden paradise-island‘ di sekitaran Koh Samui dan kembali ke kehidupan masing-masing. Karakter Richard yang diperankan Leonardo di Caprio dalam film itu pernah berkata:

And me, I still believe in paradise. But now at least I know it’s not
some place you can look for, ’cause it’s not where you go. It’s how you
feel for a moment in your life when you’re a part of something, and if
you find that moment… it lasts forever…”

Marcel memang bukan penyanyi pria favorit saya, tetapi ia juga mengutarakan hal yang nyaris sama lewat lagu Heaven is Not-nya:

Heaven is not, is not a promised land. Heaven is not, is not where you stay. It’s when I hold your hand.

Dan coba dengarkan percakapan antara karakter Thom dan Nick dalam film Nick and Norah’s Infinite Playlist berikut ini:

Thom:You just haven’t figured it out yet, have you.
Nick:What?
Thom: …The big picture!
Nick: I guess not.
Thom: The Beatles.
Nick:What about them?
Thom:This.
[grabs Nick’s hand]
Thom: Look, other bands, they want to make it about sex or pain, but you know, The Beatles, they had it all figured out, okay? “I Want to Hold Your Hand.” The first single. It’s effing brilliant, right?… That’s what everybody wants, Nicky. They don’t want a twenty-four-hour humpsesh, they don’t want to be married to you for a hundred years. They just want to hold your hand.

Menurutmu Heaven is Not-nya Marcel juga terinspirasi oleh I Want to Hold Your Hand-nya Beatles, D?

Ah, sudah dini hari. Mengapa berbincang denganmu selalu membuat saya lupa waktu? Tetapi seluruh waktu di dunia memang tidak akan pernah cukup untuk dihabiskan bersamamu.

duay khwaam rak lae khit theung kha*,
H.
—————–
*Thai for “with love, and missing you”

Image courtesy of Waraney Rawung.
hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

~ Jumat, 13 Maret 2009. Tiba di Bangkok, sekitar pukul 8 malam.~

D,

Bandara Suvarnabhumi membisikkan vokal Neil Tennant-nya Pet Shop Boys menyenandungkan Home and Dry dari album Release (2002): There’s a plane at JFK / to fly you back from far away / all those dark and frantic transatlantic miles / oh tonight, I miss you / oh tonight, I wish you could be here with me / but I won’t see you / ’til you’ve made it back again / home and dry.

picture-101

Bandara ini memang bukan JFK, tetapi bandara ini cantik, D! Di dalamnya, saya merasa tengah berada di dalam piramida kaca di depan Musée du Louvre di Paris sana. Yang jelas, di sini takkan ada air hujan yang bocor menetes-netes di ruang tunggu (dan memerciki para calon penumpang), lalu ditampung di dalam ember-ember plastik seperti yang saya lihat sewaktu tengah berada di bandara Soekarno-Hatta.

Suvarnabhumi airport from the inside.

Di sinilah saya. Gerbang udara menuju city of angels. Kota para malaikat. Bangkok.

Sejak tahun 1350 – 1767, kota perdagangan di tepi barat sungai Chao Praya (Thai: แม่น้ำเจ้าพระยา) ini berada di bawah Kerajaan Ayutthaya (Thai: อาณาจักรอยุธยา), dan namanya berakar dari dua kata: Bang Makok. Bang merupakan sebutan masyarakat Thai Tengah untuk kota atau desa yang terletak di tepi sungai, dan makok merupakan nama Thai untuk Spondias dulcis atau pohon kedondong.

Pada tahun 1767, Ayutthaya jatuh ke tangan Kerajaan Burma, dan Raja Taksin kemudian mendirikan ibu kota baru (di kota yang saat itu masih bernama Bangkok), dan menamakannya Thonburi (Thai: ธนบุรี). Ketika kekuasaan Taksin berakhir pada 1782, Raja Buddha Yodfa Chulaloke—atau yang lebih dikenal dengan sebutan King Rama I—membangun kembali sebuah ibu kota baru di tepian Timur Sungai Chao Praya. King Rama inilah yang kemudian ‘membaptis’ ibu kota tersebut dengan nama Krung Thep atau city of angels. Bangkok.

Pada 21 April 1782, Bangkok resmi menjadi ibu kota Thailand dan menjadi pusat pemerintahan di sana.

Ah, sebentar, D. Saya sudah keluar dari bandara. Kini saya harus mendorong koper saya dan mengikuti pengemudi taksi itu…

duay khwaam rak lae khit theung kha*,
H.
—————–
*Thai for “with love, and missing you”

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

~ Jumat, 13 Maret 2009. Dalam pesawat Airbus A320 dari Air Asia, nomor penerbangan QZ7716 tujuan Bangkok. ~

D,

I’m on the plane.

picture-83

Perjalanan dari Jakarta menuju Bangkok akan memakan waktu tempuh selama 3.5 jam. Jadi, sebanyak itulah waktu yang saya punya untuk merangkai serpihan-serpihan kenanganmu dari balik kelopak mata yang terpejam, ditemani lagu-lagu Boyce Avenue dari iPod saya—yang dipasang dalam volume maksimum. Dan ketika Alejandro Manzano mulai bernyanyi;

and I give up forever to touch you / and you know you can feel me somehow / you’re the closest to heaven that I’ve ever known / and I don’t want to go home right  now.

saya merekam kembali adegan demi adegan dalam film City of Angels-nya Brad Silberling, yang dibintangi Nicolas Cage dan Meg Ryan. Kisah romantis mengenai sesosok malaikat yang jatuh hati pada manusia biasa.

Ah, bukankah semua kisah cinta memang selalu berawal seperti itu, D? Dua sosok yang berbeda memutuskan bahwa mereka tak bisa jika tidak hidup bersama.

Atau, mungkin saja, layaknya magnet (ah, dan bukankah bumi merupakan sebuah magnet raksasa dengan dua kutub?), kita memang selalu tertarik pada mereka yang berbeda dengan kita. Karena perbedaan itu membuat segala sesuatu nampak lebih indah di antara keseragaman yang serupa. :: cinta (1996-2007)

Oh ya, D, tahukah kamu bahwa Bangkok pernah mencatat sejarah dalam Guinness Book of World Records sebagai tempat dengan nama terpanjang di dunia?

picture-111

Nama resmi untuk kota Bangkok adalah:

Krung Thep Mahanakhon Amon Rattanakosin Mahinthara Ayuthaya Mahadilok Phop Noppharat Ratchathani Burirom Udomratchaniwet Mahasathan Amon Piman Awatan Sathit Sakkathattiya Witsanukam Prasit.

Yang jika diterjemahkan berarti:

The city of angels, the great city, the residence of the Emerald Buddha, the impregnable city (of Ayutthaya) of God Indra, the grand capital of the world endowed with nine precious gems, the happy city, abounding in an enormous Royal Palace that resembles the heavenly abode where reigns the reincarnated god, a city given by Indra and built by Vishnukarn.

Kabarnya, penduduk kota masih bisa melafalkan nama resmi kota Bangkok ini di luar kepala. Namun untuk menyingkatnya, kota itu kemudian disebut dengan nama Krung Thep saja—City of Angels.

Dan ke sanalah saya tengah menuju. Kota para malaikat. Will I be seeing you there?

duay khwaam rak lae khit theung kha*,
H.
—————–
*Thai for “with love, and missing you”

PS:

Seth: What’s that like? What’s it taste like? Describe it like Hemingway.
Maggie Rice: Well, it tastes like a pear. You don’t know what a pear tastes like?
Seth: I don’t know what a pear tastes like to you.
Maggie Rice: Sweet, juicy, soft on your tongue, grainy like a sugary sand that dissolves in your mouth. How’s that?
Seth: It’s perfect.

It’s a dialogue from the movie City of Angels, but our dialogue would be something like this:

You: Describe the moment of being with me like Hemingway.
Me: I don’t know about Hemingway, but to me, it feels so much like… squeezing marshmallows.
You: I don’t know how squeezing marshmallows feels to you.
Me: Cozy and comforting, addictive, soft and sinful, lovable, delicate, fresh, surprising… How’s that?
You: It’s perfect.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

prelude |ˈprelˌ(y)oōd; ˈprāˌl(y)oōd| noun 1 an action or event serving as an introduction to something more important : education cannot simply be a prelude to a career. 2 an introductory piece of music, most commonly an orchestral opening to an act of an opera, the first movement of a suite, or a piece preceding a fugue. • a short piece of music of a similar style, esp. for the piano. • the introductory part of a poem or other literary work.

_____

~ Jumat, 13 Maret 2009. Sekitar pukul 3.30 sore. ~

D,

Lagi-lagi saya mendapati diri saya terdampar di sini. Starbucks. Dengan hot caramel macchiato ukuran tall di tangan kiri dan The Unbearable Lightness of Being-nya Milan Kundera di tangan kanan. Klise. Kamu bisa menemukan saya berada di salah satu kedai kopi seperti ini dengan state of being yang kurang-lebih sama kapan saja.

picture-51

Oh ya, tahukah kamu bahwa macchiato dalam bahasa Portugis disebut “pingo“? “Pingo” diartikan sebagai drop atau tetesan; karena demikianlah kombinasi macchiato yang kita kenal saat ini diracik oleh sang barista: satu shot espresso yang ditetesi susu.

Momen semacam ini adalah sebuah momen yang selalu terasa istimewa: menyesap kopi sambil memandang ke luar jendela. Di luar sana hujan deras. Langit mendung ditingkahi petir yang mengerjap sekejap-sekejap. Landasan berkilat abu-abu. Sebuah Boeing tengah bersiap lepas-landas.

Saya berada di bandara, D. Menunggu penerbangan berikutnya menuju Bangkok.

Kamu tahu, kan, bahwa bandara selalu membuat saya terhanyut dalam melankoli? Sama seperti berada dalam sebuah kedai kopi. Atau memandangi hujan. Jadi kamu tentunya mengerti jika saat ini saya merasa nyaris overdosis karena tengah berada di dalam kedai kopi di salah satu sudut bandara, dengan hujan deras mengguyur di luar sana. Semua ini adalah jejak-jejak keberadaanmu yang tidak pernah bisa terhapus bahkan oleh tsunami. Apalagi hanya oleh hujan sehari.

duay khwaam rak lae khit theung kha*,
H.
—————–
*Thai for “with love, and missing you

IMG. Starbucks picture is borrowed from here.
hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

picture-2

Kamu. Yang tidak pernah pergi. Yang selalu ada dan mengintip sekali-sekali dari sela-sela hati. Yang selalu berlari-lari kecil di pelupuk mataku pada sore hari yang berhujan atau pada malam hari yang dipenuhi bintang.

Kamu. Yang membuatku hanya membutuhkan satu sendok kecil gula pasir dalam sebuah cangkir berisi seduhan dua sendok makan kopi hitam. Adalah manis ingatan tentangmu yang kuhirup dalam secangkir kopi di pagi hari sejak dulu sekali—bahkan ketika masih banyak orang yang berkata bahwa anak perempuan seumurku tak seharusnya mencintai kopi.

Tetapi siapakah yang berhak mengajariku tentang mencintai kecuali hatiku sendiri? Dan hatiku sudah memilihmu sejak saat itu. Sejak lama. Jauh sebelum aku sadar apa artinya cinta. Dan jangan salahkan aku jika hingga kini definisiku tentang kata cinta tak pernah berubah: cinta adalah kamu.

Memang, ada beberapa orang yang menawarkan definisi lain tentang cinta dalam hidupku, tetapi ternyata semua definisi itu keliru. Jadi, aku kembali pada satu-satunya cinta yang aku tahu sejak dulu.

Kamu.

Cukup untuk dicintai. Tak perlu kumiliki. Karena bukankah cinta itu seharusnya membebaskan?

———————————

:: a mental note from Bangkok Trip, as I climbed the steep stairs to the upper level of Wat Arun temple. The beautiful sight of Chao Praya river from the height was there, right in front of me. And my mind went to you.

Update (Mar 18, 2009): Dan pagi ini, sebuah dialog cantik dari seorang kawan:

“Yang tidak pernah kudapatkan dari seorang kekasih adalah teman ngobrol. Sedangkan yang tak kudapatkan dari teman ngobrol adalah kekasih.”

“Apa sih yang diobrolin?”

“Apa saja.”

“Lalu?”

“Bisa jadi satu sudut pandang baru.”

“Aku takut tidak bisa memberikanmu itu.”

“Kamu sudah.”

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Bukannya tanpa alasan jika saya paling menikmati hari terakhir AXIS Java Jazz 2009 pada hari Minggu, 8 Maret kemarin—bahkan lebih menikmatinya ketimbang special show Jason Mraz pada hari Jumat yang sudah ditunggu-tunggu itu. Pada hari penutupan perhelatan jazz terbesar di Indonesia (dan kabarnya di dunia ini), saya memang berkesempatan untuk menjelajah belasan panggung di Jakarta Convention Center sendirian.

picture-262

Pada hari Minggu sore hingga malam yang berhujan itu, dengan blus, celana pendek, sandal jepit, dan tas selempang, saya melawan arus ribuan orang yang hendak menyaksikan penampilan Brian McKnight, Tompi, atau Maliq & D’essentials.

Meskipun beberapa kawan saya juga tengah berada di acara yang sama, saya memilih untuk ‘melarikan diri’ sendirian, memuaskan selera bermusik saya sendiri, tanpa perlu mentoleransi selera bermusik orang lain. Bagaimanapun, ini sudah hari terakhir. Dan saya sudah berjanji pada diri sendiri bahwa di perhelatan Java Jazz hari terakhir ini saya tidak akan menonton pertunjukan band lokal.

Bukannya tidak suka, hanya saja… sayang, rasanya. Ada begitu banyak musisi internasional yang berhasil didatangkan ke Jakarta, dan mungkin tidak akan bisa kita lihat lagi penampilannya kecuali di Java Jazz ini. Jadi mengapa tidak memuaskan diri dengan melihat penampilan mereka?

Sore yang menyenangkan itu diawali ketika saya memasuki ruangan tempat Tom Scott dan Paulette McWilliams bermain. Di awal, baru Tom Scott dan band-nya saja yang berada di atas panggung. Saya pun duduk lesehan dengan santai, mendengarkan mereka bermain. Baru sekitar setengah jam berikutnya Tom mengundang Paulette untuk naik ke atas panggung. Setelah Paulette—dengan suaranya yang berat dan jazzy—membawakan 1-2 lagu, saya tertegun. Merasa mengenali lagu berikut yang hendak dibawakan Paulette, lalu turut menyanyi…

Build your dreams, to the stars above. But when you need someone true to love, don’t go to strangers, darling, come home to me.

Ah, itu kan Don’t Go to Strangers-nya Chaka Khan!

Play with fire till your fingers burn, but when there’s no place for you to turn, dn’t go to strangers, darling, come home to me. For when you hear a call to follow your heart, you’ll follow your heart I know. I’ve been through it all and I’m an old pro, and I’ll understand if you go. So make your mark for your friends to see, but when you need a little more than company, don’t go to strangers. Darling, come home to me…

Dari sini kemudian saya sempat luntang-lantung sebentar sebelum akhirnya terdampar di Cendrawasih—yang menampilkan World Music. Kali ini penampilnya berasal dari Austria, Parov Stelar, yang memadukan antara techno dengan tiupan saxophone yang jazzy dan upbeat. Suasana di Java Jazz pun segera berubah hingar-bingar dan ruangan dipenuhi para clubbers dadakan.

Penampilan saxophonist dan DJ yang sama-sama berstamina prima dan penuh energi seperti menular ke seluruh penjuru ruangan.

Setelah penampilan Parov Stelar yang menghentak-hentak, saya pun mendamparkan diri di AXIS Lounge untuk men-charge telepon genggam dan makan malam sebentar. Dari sana, sekitar pukul sembilan, saya pun bergegas menuju Exhibition Hall untuk menyaksikan penampilan band asal Jepang, Soil & Pimp.

Duduk sambil meluruskan kaki di atas karpet, saya pun menyaksikan satu lagi penampilan yang cukup upbeat dan enerjik dari Soil & Pimp, dengan interaksinya yang cukup seru dengan penonton (Soil! Soil! Soil! Soil! – dan bass betot-nya). Selama satu jam penuh, saya menikmati penampilan mereka yang mengesankan dari kejauhan, sebelum akhirnya ruangan dipadati para ABG yang hendak menyaksikan Maliq & D’essentials yang kebagian manggung sesudahnya.

Saya pun menyelinap keluar dari ruangan dan berkelana lagi hingga mendengar tiupan saxophone yang menarik hati. Dan masuklah saya ke sebuah ruangan yang tidak terlalu padat—malah bisa dikatakan cenderung sepi, sehingga saya bisa berdiri tepat di depan panggung. Dan di situlah, di atas panggung, Eric Darius bermain dengan luar biasa! He’s sooo talented (and handsome, too)!

picture-281

Kerumunan penonton yang tak seberapa banyak pun berdansa diiringi Eric dan band-nya, yang membuat saya merasa seolah terlempar ke dalam film Ray (menceritakan kehidupan musisi soul Ray Charles). Di manakah di Jakarta, Anda bisa menemukan klub jazz yang memungkinkan orang-orang untuk berdansa mengikuti musik? Ada yang tahu? Jelas bukan di Black Cat-Senayan sana.

Setelah memainkan beberapa buah lagu, tiba-tiba Eric duduk di pinggir panggung, masih meniup saxophone-nya, lalu turun ke tengah-tengah penonton! Penonton pun langsung merubung Eric, hanya menyisakan cukup tempat baginya untuk bermain sax—dan ke mana Eric pergi, kerumunan kecil penonton mengikutinya, mengelilinginya seperti ikan remora mengerumuni ikan paus.

Saya yang berada di sisi kiri panggung pun hanya bisa melihat dari kejauhan ketika kerumunan tersebut bergerak. Dan bergerak ke arah kiri! Ke arah saya! Dan betapa terkejutnya saya ketika Eric tiba-tiba berdiri di hadapan saya, dengan jarak yang sangat dekat, meniup saxophone-nya di depan wajah saya!

Oh, saya langsung salah tingkah selama 30 detik yang terasa sangat lama itu!

Hanya bisa mematung dan takjub—bahkan dengan bodohnya tidak mengambil kamera dan mengabadikan momen itu! Padahal jika mau, saya bisa mengambil foto diri dengan Eric yang bermain saxophone (seakan-akan hanya) untuk saya! Sungguh bodoh bagaimana fungsi tubuh dan otak tidak dapat bekerja normal pada saat-saat seperti itu!

Dan inilah Breathe, lagu favorit saya, yang ada di dalam album terbaru Eric, Goin’ All Out:

Menikmati waktu yang berputar sendiri ternyata memang menyenangkan. Saya pernah lupa betapa nikmatnya kesendirian hingga dihancurkan berkeping-keping oleh keramaian. Kesendirian mungkin tidak selamanya mendatangkan kebahagiaan, tetapi setidaknya kesendirian tidak menyakiti.

Just me, my memories, my thoughts… music… words…  photographs…

Cukup, setidaknya untuk sementara waktu.

Saya masih bersenang-senang dengan kesendirian itu hingga lewat tengah malam, bersantai di Cendrawasih menikmati penampilan Something Relevant dari India.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Beberapa waktu lalu, kawan saya menuliskan pemikirannya tentang cinta—yang secara mengejutkan—indah, menurut saya. Kawan saya itu menulis mengenai The One That Got Away, seseorang yang terlepas begitu saja dari kehidupan Anda. Saya tak tahu apakah dia menulisnya sendiri, atau mengutipnya dari sumber lain, tapi begini isi tulisannya:

In life, you’ll make note of a lot of people. Ones with whom you shared something special, ones who will always mean something. There’s the one you first kissed, the one your first loved, the one you lost your virginity to, the one you put on a pedestal, the one you’re with… and the one who got away.

Who is the one that got away?

I guess it’s that person with who everything was great, everything was perfect, but the timing was just wrong. There was no fault in the person, there was no flaw in the chemistry, but the cards just didn’t fall the right way, I suppose. I believe in the fact that ending up with someone, finding a long time partner that is, does not lie merely in the other person. I can actually argue that an equal part, or maybe even the greater part, has to do with the matter of timing.

It has to do with you being ready to settle down and commit to someone in a way that goes beyond the little niceties of giddy romance. How often have you gone through it without even realizing it? When you’re not ready to commit in that mature manner, it doesn’t matter who you’re with, it just doesn’t work. Small problems become big; inconsequential become deal breakers simply because you’re not ready and it shows. It’s not that you and the person you’re with are no good; it’s just that it’s not yet right, and little things become the flashpoint of that fact.

Then one day you’re ready. You really are. And when this happens you’ll be ready to settle down with someone. He or she may not be perfect, they might not be the brightest star of romance to ever have burned in your life, but it’ll work because you’re ready. It’ll work because it’s the right time and you’ll make it work. And it’ll make sense, it really will. The day comes when you’re finally making sense of things, and you find yourself to be a different person. Things are different, your approach is different, you finally understand who you are and what you want and you’ve become ready because the time has truly arrived. And mind you, there’s no telling when this day will come.

Hopefully, you’re single… but you could be in a long-term relationship, you could be married with three kids, it doesn’t matter. All you know is that you’ve changed, and for some reason, the one that got away, is the first person you think about. You’ll think about them because you’ll wonder, “What if they were here today?” You’ll wonder, “What if we were together now, with me as I am and not as I was?”

That’s what the one that got away is. The biggest “What if?” you’ll have in your life.

If you’re married, you’ll just have to accept the fact that the one that got away, got away. Believe me, no matter how fairy tale you think your marriage is, this can happen to the best of us. But hopefully, you’re mature enough to realize that if you’re already with the one you’re with, that this is just another test of your commitment, one which will just strengthen your marriage when you get past it. Sure, you’ll think about him/her every so often, but it’s alright. It’s never nice to live with a “might have been,” but it happens.

Maybe the one that got away is the one who’s already married. In which case it’s the same thing. You just have to accept and know that your memories of that person will probably bring a nice little smile to your lips in the future when you’re old and gray and reminiscing.

But if neither of that is the case, then it’s different. What do you do if it’s not yet too late? Simple… find him, find her. Because the very existence of a “one that got away” means that you’ll always wonder, what if you got that one? Ask him out to coffee; ask her out to a movie, it doesn’t matter if you’ve dropped in from out of nowhere. You’d be surprised, you just might be “the one that got away” as well for the person who is your “the one that got away.” You might drop in from out of nowhere and it won’t make a difference.

If the timing is finally right, it’ll all just fall into place somehow. And it would be a great feeling, if, in the end, you’d be able to say to someone, “Hey you, you’re the one that almost got away.”

Masihkah Anda memikirkan seseorang yang pernah hadir di masa lalu—dan hingga kini masih bertanya-tanya apa yang mungkin terjadi jika saja dulu Anda berani menanyakan nomor teleponnya, mengajaknya nonton, mengundangnya ngopi-ngopi berdua, menyatakan perasaan yang Anda pendam terhadapnya sekian lama?

Bagaimana jika kesempatan semacam itu hanya datang satu kali dan tidak bisa terulang lagi?

What are you waiting for? 🙂

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Update: ternyata untuk voting di sini, kita bisa voting ulang setiap harinya!

Bukannya tak mungkin! The Best Job in The World merupakan program internasional dari Tourism Queensland di Australia sana.

picture-5

Mereka mencari kandidat untuk ‘bekerja’ di pulau-pulau sekitar Great Barrier Reef. Pekerjaannya apa?

Bersantai di Hamilton Island di jajaran pulau sekitar Great Barrier Reef selama 6 bulan, sambil nge-blog dan membuat video diaries, seraya menikmati diving, kayaking, bushwalking, snorkelling, atau jalan-jalan santai sambil piknik di tepi pantai!

Tak heran jika kemudian pekerjaan ini disebut pekerjaan terbaik di dunia!

Selama beberapa waktu lalu, Tourism Queensland sudah mengundang seluruh warga dunia untuk ‘melamar’ pekerjaan ini dengan mengirimkan video profile sepanjang 1 menit yang diunggah ke web resmi The Best Job in The World.

Dari 34,684 aplikasi video yang diterima dari seluruh belahan dunia, baru-baru ini, Tourism Queensland telah mengeluarkan 50 shortlisted applicants, dan salah satu yang terpilih menjadi 50 kandidat dari 34ribuan pendaftar itu adalah Nila Tanzil, blogger Indonesia yang saat ini tengah menetap di Singapura.

picture-61

Anda mau membantu Nila lolos ke tingkatan yang lebih tinggi lagi sehingga ia bisa menjadi orang Indonesia yang berhasil memenangkan pekerjaan terbaik di dunia ini? Silakan vote untuk Nila di sini, ya!*

———————

*)Mengapa Depbudpar tidak belum melakukan sesuatu seperti ini untuk mempromosikan pariwisata Indonesia?

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP