picture-5

Tak heran banyak orang bingung ketika hendak mengungkapkan cinta. Banyak yang berkata, mereka tidak siap mendengar jawaban apa yang mungkin diberikan oleh pihak yang diajak bicara. Ternyata, kebingungan itu cukup  beralasan, karena ada begitu banyak alternatif jawaban yang bisa diberikan pada satu pertanyaan sederhana di bawah ini:

“Maukah kamu menjadi pacarku?

  1. Jawaban menolak: “Tidak.”
  2. Jawaban menolak sopan: “Tidak, terima kasih.”
  3. Jawaban menolak tidak sopan: “Jelas tidak, lah!”
  4. Jawaban menolak baik-baik: “Aduh, kamu baik sekali. Tapi… sepertinya lebih baik kita berteman saja.”
  5. Jawaban menolak dengan alasan kuat: “Tidak. Aku sudah punya pacar.”
  6. Jawaban menolak dengan alasan kuat, disampaikan dengan kasar. “Tidak. Aku benci kamu.”
  7. Jawaban menolak dengan amarah, disertai sentuhan fisik: “Kamu kira aku murahan?” (*samar-samar terdengar suara pipi ditampar*)
  8. Jawaban menolak dengan alasan lain: “Sepertinya kita baru saja kenal, aku masih butuh waktu untuk mengenalmu lebih baik lagi.”
  9. Jawaban menolak dengan berbelit-belit. “Bukannya aku tidak mau, sih, tapi… maksudku, kamu memang  baik, selama ini kamu perhatian padaku. Dan aku merasa nyaman bersamamu. Tetapi, meskipun begitu, demi kebaikan kita berdua, rasanya lebih baik kita berteman saja.”
  10. Jawaban bersedia antusias: “Ya ampun! Kupikir kamu tidak akan pernah bertanya! Tentu aku mau!”
  11. Jawaban bersedia berlebihan: “OH MY GOD? Sumpah loooh? Nggak becanda, kan? Ya ampun! Tuhan! Gila, ya mau, laaaah!”
  12. Jawaban bersedia: “Baiklah.”
  13. Jawaban bersedia sopan: “Baik, aku mau. Terima kasih karena sudah bertanya.”
  14. Jawaban bersedia kurang sopan: “Okelah.”
  15. Jawaban bersedia agak meremehkan: “Boleh.”
  16. Jawaban bersedia bersyarat. “Mau, sih, asalkan…”
  17. Jawaban ambigu menyebalkan: “Menurut looo?”
  18. Jawaban ambigu sopan: “Menurutmu bagaimana?”
  19. Jawaban menggantung: “Gimana, yaaa… “
  20. Jawaban mengalihkan topik pembicaraan: “Lihat! Ada pisang terbang!”
  21. Jawaban hati-hati, penuh antisipasi, mungkin pernah patah hati: “Apakah saat ini kamu sudah punya pacar? Apakah kamu hendak menjadikanku selingkuhan?”
  22. Jawaban menunda: “Beri aku waktu beberapa hari untuk memikirkannya, ya.”
  23. Jawaban asal dan tidak jelas: “Yuk, yah, yuuuk.”
  24. Jawaban waspada dan menuntut detail jelas: “Coba definisikan dulu, menurutmu ‘pacar’ itu apa?”
  25. Jawaban balik bertanya puitis: “Apakah aku mau? Masih perlukah kau pertanyakan semua itu?”
  26. Jawaban penggila Plurk: “(cozy)”
  27. Jawaban antisipatif: “Kalau iya, kenapa? Kalau tidak, kenapa?”
  28. Jawaban menjebak: “Pacar yang keberapa?”
  29. Jawaban lelah: “Sesungguhnya… ah, sudahlah.”
  30. Jawaban meledek: “Hmpfhhhh… “ (terdengar ledakan tawa)
  31. Jawaban berharap: “Apakah ini berarti kita akan menikah?”
  32. Jawaban oportunis: “Apa untungnya bagiku jika menjadi pacarmu?”
  33. Jawaban tersirat: “Selama ini aku menyayangimu. Kamu tahu itu?”
  34. Jawaban memberi harapan kemudian dijatuhkan: “Ah, aku sangat mencintaimu! Dan terima kasih karena kamu memintaku menjadi pacarmu. Tetapi kita tidak bisa bersama.”
  35. Jawaban materialistis: “Kamu punya apa?”

Anda punya alternatif jawaban lain?

—-

Disclaimer: ini adalah postingan yang sangat tidak serius, jadi harap tidak direspon dengan sensitivitas berlebih. Terima kasih.

(Gambar dipinjam dari sini)

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Ada masa-masa tertentu dalam hidup saya ketika saya iri kepada perempuan-perempuan cantik*. Bukan dalam arti ‘iri’ di mana saya lantas hendak mencakar-cakar wajah mereka, tetapi rasa ‘iri’ yang berharap.

Ya, saya juga ingin bisa secantik mereka.

picture-12

Semasa SMU dan tahun-tahun pertama di bangku kuliah, saya memang mengalami masalah kepercayaan diri yang cukup akut–jika dan hanya jika, berhubungan dengan penampilan.

Saya termasuk siswi yang aktif di organisasi dan punya banyak teman. Sehari-hari, sepertinya saya ceria-ceria saja dengan segudang kegiatan. Namun, yang tidak diketahui kawan-kawan saya (dan tak pernah saya ceritakan kepada siapa-siapa) adalah: dengan berat badan yang melebihi angka ideal jarum timbangan, wajah berminyak yang jerawatan, serta rambut yang lurus masai, saya sama sekali merasa tidak menarik, apalagi cantik.

Hal ini terus-terang, membuat saya merasa depresi.

Kebanyakan kawan-kawan saya di SMU adalah perempuan-perempuan cantik. Bahkan mereka yang dianggap jajaran ‘paling cantik’ dalam satu angkatan. Berada di lingkaran yang sama dengan mereka, seringkali membuat saya tidak percaya diri.

Bisa sangat menyebalkan (dan menyedihkan) terkadang, jika kami berjalan-jalan ke suatu tempat dan bertemu dengan sekumpulan cowok-cowok yang kemudian sibuk menanyakan nomor telepon kawan-kawan saya, tetapi tidak menanyakan nomor telepon saya.

Parahnya lagi, teman-teman perempuan saya yang cantik-cantik ini baik. Tidak culas dan sering mendelik-delik mengerikan seperti yang sering terlihat dalam sinetron-sinetron.

Kami pergi ke salon bersama (meski kami potong rambut di salon yang sama, saya selalu merasa si tukang potong rambut telah berkonspirasi untuk memberikan saya potongan rambut paling aneh), berbelanja bersama, nongkrong bersama, mencurahkan isi hati…

Seandainya mereka jahat, mungkin saya bisa membenci mereka. Tetapi tidak. Mereka baik. Lucu. Menyenangkan. Dan cantik. Dan saya jadi merasa lebih iri lagi. Saya tidak bisa membenci mereka, sekaligus juga merasa sulit untuk menyukai mereka sepenuhnya. Kekaguman saya bercampur dengan kesadaran bahwa saya tidak akan pernah bisa menjadi secantik mereka.

Pada masa-masa inilah saya biasanya kesal mendengarkan jawaban para Putri Indonesia ketika mendapat pertanyaan klise: Ingin menjadi cantik tetapi bodoh, atau jelek tetapi pintar?

Rata-rata menjawab jelek tetapi pintar dengan tameng standar semacam inner beauty dan lain sebagainya. Saya pikir, jika saya yang mendapatkan pertanyaan itu, saya akan menjawab: cantik tetapi bodoh.

Mengapa?

Karena orang bodoh masih bisa belajar supaya menjadi pintar. Tetapi orang jelek susah menjadi cantik, kecuali jika melalui operasi plastik (ya, pada masa itu saya masih sangat sinis, sehingga harap jawaban tersebut dimaklumi). Kecantikan itu given. Diberikan. Bukan achieved atau dicapai.

Saya seringkali berpikir, alangkah menyenangkannya menjadi cantik seperti mereka. Cowok-cowok mengantri mengajak mereka kencan. Bunga-bunga yang dikirimkan pada saat Valentine. Kemudahan mencari uang saku dengan menjadi SPG, model iklan, pemain sinetron, atau model rambut.

Namun, menjelang berakhirnya masa-masa kuliah, ada banyak hal yang saya ketahui mengenai perempuan-perempuan cantik ini, yang dulu tidak saya ketahui sama sekali.

Salah seorang kawan saya yang cantik itu dan sudah berpacaran dengan seorang lelaki selama bertahun-tahun, ternyata sering menyayat dirinya sendiri dengan silet. Katanya ia merasa tak dicintai oleh kekasihnya itu, dan menyayat diri seringkali berhasil membuat kekasihnya merasa bersalah, sehingga lelaki itu kemudian memberikan perhatian lebih kepadanya.

Seorang kawan saya yang lain lagi, yang sering menjadi model di sana-sini, menjadi istri simpanan seorang lelaki yang sudah berusia hampir 50 tahun. Sang lelaki sudah memiliki anak yang usianya lebih tua dari kawan saya itu. Hanya beberapa lama setelah mereka menikah dan dikaruniai seorang anak, sang lelaki menceraikan kawan saya. Menghancurkan hidupnya dan membuatnya depresi.

Kawan cantik saya lainnya lagi ternyata mengidap penyakit serius. Pantas saja ia begitu langsing. Selama ini, ternyata ia menyembunyikan kenyataan bahwa ia sakit parah. Perempuan cantik lainnya mengetahui bahwa kekasihnya berselingkuh dengan perempuan lain (yang menurutnya, tidaklah lebih cantik dari dirinya). Yang lainnya lagi masih terus menjalin hubungan selama bertahun-tahun lamanya dengan lelaki yang sering memukulinya hingga biru lebam, karena menurutnya, ia sangat mencintai lelaki itu.

Mendengarkan kisah-kisah ini membuat saya berpikir, bahwa ternyata menjadi cantik tidak membuat kita kebal dari rasa sedih. Rasa sakit. Terluka. Dikhianati. Hanya saja rasa itu termanifestasi dalam bentuk yang berbeda. Tetapi ternyata semua orang masih saja tersakiti dalam caranya sendiri-sendiri, tak peduli apakah mereka cantik atau biasa-biasa saja.

Lantas saya teringat percakapan saya dengan seorang kawan beberapa waktu lalu:

Me: Why would you want to be beautiful?
M: Because I want to be loved.
Me: Why would you want to be loved?
M: Because… I want to be happy.
Me: Meaning, you don’t want to be beautiful, actually. Am I right? You just want to be loved, and be happy. What if you’re beautiful, but unhappy? I knew lots of beautiful women who are unhappy. Trust me.

Menjelang tahun-tahun terakhir kuliah hingga kini, saya tak lagi risau perihal menjadi cantik.

Saya tahu, ada begitu banyak hari dalam masa remaja saya dahulu, di mana saya membuangnya begitu saja dengan meratapi diri di depan cermin dan mencoba membandingkan apa yang saya lihat di sana dengan kawan-kawan saya, atau model-model di majalah (jauh banget hehehe). Saya tak menyalahkan siapa-siapa, saya hanya berpikir saat itu saya masih berada dalam masa jahiliyah 😀 Masa-masa itu adalah proses, yang mungkin memang harus saya lewati untuk bisa berada dalam jalan pemikiran dan sikap yang saya ambil saat ini.

Kini, saya masih mengagumi perempuan-perempuan cantik, namun tidak pernah lagi merasa iri. Juga tak lagi risau mengenai menjadi cantik. Karena saya tahu bahwa yang paling penting bukanlah menjadi cantik, tetapi menjadi bahagia.

Dan untungnya, untuk berbahagia, Anda tidak perlu menjadi cantik 😉

——————–

:: untuk M, yang masih seringkali risau karena menganggap dirinya tidak cantik.

*) cantik di sini berarti penampilan fisik; termasuk struktur tulang dan karakteristik wajah/tubuh; yang dianggap mendekati ideal menurut mayoritas masyarakat di suatu wilayah tertentu.

Gambar dipinjam dari sini.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Wow. So this is what love at first sight feels like,” kata Matt Mullenweg, co-founder layanan blog WordPress itu.

picture-22

Oh, bukan. Pernyataan itu, sayangnya, bukan ditujukan kepada saya 😀 (hihihi). Pernyataan di atas diungkapkan Matt pada tanggal 4 Desember 2008 lalu–melalui status Twitter-nya.

picture-11

Saya tersenyum-senyum sendiri membaca tweet itu. Ternyata, kalimat tersebut ditujukan Matt untuk admin WordPress versi 2.7 yang baru 🙂 Dan gara-gara tweet itulah saya jadi teringat seloroh Matt pada presentasinya di hari pertama WordCamp 2009 hari Sabtu kemarin:

WordPress is my longest relationship. It lasts longer than any of my girlfriends,” katanya.

Terkesan geeky? Mungkin. Tetapi Matt yang sederhana dan kelihatan agak malu-malu jika tengah berbicara ini, ternyata juga lucu dan playful. Coba lihat halaman Contact Matt di blog-nya ini:

matt

matt-2

Saat coffee-break, NdoroKakung sempat berkata kepada saya, “Rasanya aneh, ya. Lucu, bisa ketemu Matt langsung. Orang yang menciptakan sesuatu yang biasa kita gunakan sehari-hari…”

Saya setuju. Baru beberapa hari lalu saya melihat tulisan ‘edisi-ulang-tahun‘ di blog-nya Chika, sang ratu kopdar, di mana ia bertutur mengenai bagaimana blog telah mengubah hidupnya.

“Melalui blog inilah saya bisa berkenalan dengan teman-teman blogger. Melalui blog inilah saya banyak belajar. Melalui blog inilah sampai akhirnya saya bisa mendapatkan berbagai pengalaman unik. Terima kasih blog. Tanpa blog ini, mungkin saya masih menjadi Chika yang hidupnya datar. Pulang kerja langsung ke rumah, nonton tv, nonton dvd, nelpon teman, lalu tidur dan mengulangi rutinitas yang sama hampir setiap hari.” – Chika.

Hal-hal semacam inilah yang menurut Matt jauh lebih penting dan lebih berharga daripada sekadar mendapatkan uang atau materi. Ia bahagia jika ia bisa berbagi dan membuat orang lain bahagia. Itulah sebabnya, WordPress tersedia secara cuma-cuma untuk kita semua.

Dan Matt juga tak terlalu antusias menjadikan blog sebagai ‘mesin’ penghasil uang. Seperti yang dikatakannya pada WordCamp hari kedua Minggu kemarin:

“You can make more money BECAUSE of your blog. Not FROM your blog.” – Matt Mullenweg.

The more you give, the more you get. Barangkali inilah yang ada dalam benak Matt–yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-25 pada 11 Januari lalu. Ya, Matt tidak lantas jatuh miskin karena membagi WordPress secara cuma-cuma dengan kita semua. Malah sebaliknya 😉

Dalam bukunya Influence, Robert Cialdini, profesor psikologi dari Universitas Arizona, menyebut hukum ini Rule of Reciprocity. Kurang lebih sama dengan konsep mengenai karma. What you do will come back to you. Apa yang kamu tanam, itulah yang akan kamu tuai.

Seorang Beatles sejati memaknainya seperti ini:

“And, in the end, the love you take is equal to the love you make.”                   – Paul McCartney.

Jadi, sudahkah Anda punya rencana untuk berbagi di tahun 2009?

————————–

PS: Coin A Chance! dengan Coiners saya dan Nia, akan mengadakan Coin Collecting Day #1 di Cavana (di meja luar), Plaza Semanggi, Jakarta, pada hari Sabtu, 24 Januari 2009, mulai pukul 10:00-16:00 WIB. Info lengkapnya, bisa dilihat di sini.

PS2: photo of Hanny & Matt; courtesy of Gage Batubara.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

… suka membuat pantun-pantun lucu, gemar melahap makanan pedas dan gurih, serta mendaulat Alanis Morisette sebagai penyanyi favoritnya. Cita-cita jangka pendeknya? Ingin nonton Jason Mraz dan Brian McKnight di perhelatan JavaJazz bulan Maret mendatang.

blog-dita

Ya, sekilas, Dita (atau bekennya, Nona Dita) memang terdengar seperti perempuan muda yang biasa-biasa saja. Tiap membayangkan sosok Dita, saya jadi teringat burung-burung kecil yang suka menyanyi riang pada film-film kartun macam Cinderella. Tahu, kan? Burung-burung kecil dengan suara lucu yang bernyanyi di pinggir air mancur, dan bulu matanya yang lentik berkedip-kedip? Nah, seperti itulah gambaran mental saya mengenai Dita 😀

Meski demikian, saya tidak terkejut ketika dewan juri Bloggership yang terdiri dari Microsoft Indonesia dan – the one and only – Mas Enda Nasution, menobatkan Dita sebagai penerima penghargaan Bloggership yang pertama. Di luar gayanya yang ‘biasa-biasa saja’ itu, Dita memang punya pemikiran yang matang dan sudut pandang yang menarik, terutama mengenai isu-isu edukasi dan pemberdayaan masyarakat. Mungkin ini berhubungan juga dengan pekerjaannya sebagai peneliti junior di salah satu LSM di kota kesayangan saya, Bogor 🙂

“Aku kaget, senang, campur cemas,” kata Dita ketika ditanya mengenai perasaannya menjadi penerima Bloggership pertama di Indonesia. “Ini kan event-nya nasional, diumuminnya aja di Pesta Blogger. Pertama kali diselenggarakan, pula. Jadi belum ada modelnya gitu. Aku takut bila kontribusiku di program ini tidak seperti yang diharapkan banyak orang.”

Saya sempat bertanya juga pada Dita, bagaimana pendapatnya mengenai perusahaan serta organisasi yang mulai tertarik menjalin kerja sama dengan para blogger. Menurut Dita, kerja sama dalam bentuk apapun, asal tujuannya baik, adalah bagus. Kerja sama semacam ini bisa menjadi simbiosis mutualisme yang sama-sama baik untuk kedua belah pihak. Perusahaan dengan sumber daya yang mereka miliki bisa membuat sebuah gagasan yang bagus menjadi konkret.

“Misalnya ada blogger/komunitas yang punya ide untuk mengadakan aksi sosial atau lebih jauh lagi, mengadakan aktivitas pemberdayaan masyarakat. Tapi, mereka nggak punya dana, minimal untuk start-up cost. Sebuah perusahaan bisa membantu untuk terlaksananya program itu. Artinya, kerja sama dengan swasta nggak melulu berarti mengkomersilkan suatu ide, tetapi bagaimana supaya ide baik nggak cuma tersebar dalam bentuk postingan saja.”

Dari ngobrol-ngobrol dengan Dita, saya berhasil mendesaknya untuk memilih 3 blog saja yang paling sering ia kunjungi. Dita kelabakan. “Soalnya jarang  blogwalking,” katanya jujur sambil terkikik. Tapi di bawah ancaman saya, akhirnya Dita menyebutkan juga 3 blog yang paling sering dikunjunginya: blog-nya Paman Tyo, blog kawannya, dan satu lagi adalah blog Pak Dhe Mbilung.

Sampai di sini saya mengernyit. Ada yang ganjil. Lantas, bagaimana dengan blog JengJeng yang terkenal itu? 😀 *melirik si empunya blog*. Ah, tetapi jangan kecewa dulu, meski blog tersebut tidak masuk di jajaran 3 blog yang paling sering dikunjungi Dita, si empunya blog JengJeng (yang penuh dengan postingan jalan-jalan dan makan-makan itu) ternyata adalah orang pertama yang dikabari Dita begitu sang Nona mengetahui bahwa dirinya memenangkan Bloggership 😉

Uang 15 juta mau diapakan, Dit? Itu pertanyaan saya selanjutnya pada Dita tadi sore. Ternyata, Dita hendak menabungnya untuk biaya sekolah lagi. Iya, Dita ternyata ingin kembali menempuh pendidikan di bidang CSR. Ini cita-citanya sejak lama. Jadi, kawan-kawan, sudah, hentikan menodong Dita untuk traktiran! 😀

Oh ya, ada satu pantun khusus yang Dita buat sehubungan dengan terpilihnya ia sebagai penerima Bloggership, yang dibuatnya dalam waktu 29 detik saja, Saudara-saudara!

Begini, bunyinya:

Bloggership diumumkan juga
Eh kepilihnya nonadita
Grogi girang cemas terasa
Nggak nyangka jadi juara

Ah, Dita, selamat untuk kemenanganmu, ya! Saya bangga diberi kesempatan untuk mengenalmu, Dit! 🙂

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Ya. Saya bangga menjadi seorang blogger.

Bagaimana tidak?

Dunia blog adalah tempat di mana semua niat baik disambut secara luar biasa, didukung dengan sepenuh hati, dan diterima dengan tangan terbuka. Ini adalah  sebuah dunia di mana bantuan akan diberikan kepada mereka yang membutuhkannya. Dunia di mana sebuah kabar akan menyebar dalam waktu yang bisa dibilang sebentar.

Ini terbukti dengan gerakan Coin A Chance! yang baru berusia sebulan.

picture-3
poster Coin A Chance! dengan Muko yang dibuatkan oleh Icha - seorang Coin A Chance-ers dari Binus

Ketika saya dan Nia memulai gerakan Coin A Chance!, kami hanya punya niat. Itu saja. Sedikit-sedikit saya yang bisa nge-blog dan punya jaringan pertemanan dengan kawan-kawan blogger membuatkan blog resminya. Itu pun dengan layanan blog hosting gratisan (terima kasih, WordPress!). Nia yang punya jaringan pertemanan luas di Facebook pun kemudian membantu mensosialisasikan gerakan ini melalui jaringan tersebut.

Kapasitas kami memang terbatas.

Tetapi, lihat, hanya dalam beberapa hari gerakan ini digulirkan, tiba-tiba saja kawan blogger menawarkan membuatkan banner. Seorang kawan lain menawarkan membuatkan grup di Facebook. Kawan lain menyebarkan email kepada kawan-kawannya mengenai gerakan ini. Kawan lain lagi memberikan foto-foto koin dan recehan, yang katanya bisa digunakan kapan saja dibutuhkan untuk membuat banner atau header, atau keperluan lainnya. Seorang kawan dari blog hosting lokal DagDigDug.com melakukan wawancara untuk menyebarluaskan gerakan ini. Kawan-kawan blogger membuat postingan di blog masing-masing, dan memasang banner. Seorang kawan jurnalis menulis mengenai blog ini di medianya. Kawan lain yang baru dikenal karena bergabung dengan gerakan ini menghimpun teman-teman di kantornya untuk mengumpulkan koin. Sebuah kedai kopi di Jogja mengatakan hendak menyediakan tempat cuma-cuma untuk digunakan mengumpulkan koin di daerah tersebut. Dan kini berkat bantuan DagDigDug dan Rumah Web, Coin A Chance! sudah memiliki domain sendiri di http://coinachance.com/ 🙂

Sebuah gerakan adalah kerja kolektif. Setiap orang memberikan yang terbaik dari apa yang mereka miliki. Tidak ada yang punya andil lebih besar dari yang lain. Semua berkontribusi dengan apa yang mereka punya, dengan apa yang mereka bisa. Dan kontribusi itu sama berartinya. Melalui media blog, setiap niat, setiap ide, setiap inspirasi, punya potensi lebih besar dan lebih lekas untuk disambut, didukung, dan diapresiasi.

Lihat saja, ide yang digulirkan kawan blogger saya, Epat, mengenai sebuah jaringan blogger yang akan merespon bencana yang terjadi di Indonesia dan memantau perkembangannya melalui sebuah blog khusus. Hanya dalam waktu singkat, sebuah blog bertajuk Blogger Peduli yang disusun oleh kawan-kawan blogger sudah siap untuk menjadikan ide itu nyata.

picture-1

Inilah yang membuat saya semakin bangga menjadi seorang blogger, dan merasa beruntung karena dapat menjadi bagian dari komunitas yang tahu benar arti kata ‘berbagi’ ini.

Survei “Pola dan Potensi Sumbangan Masyarakat” yang dilaksanakan PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) menunjukkan bahwa tingkat kedermawanan (rate of giving) masyarakat masih tinggi, yakni 99,6%. Artinya, hampir seluruh masyarakat yang menjadi responden survei ini memberi sumbangan dalam setahun terakhir.

PIRAC

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Dengan cara saya sendiri, saya berduka untuk Palestina.

Pemandangan mengerikan yang saya saksikan di televisi, foto-foto yang terpampang di koran-koran nasional… semua itu membuat saya berpikir betapa manusia bisa menjadi makhluk yang sangat egois, yang berperasaan dan berpikiran sempit.

Karena bukankah kita semua, sesungguhnya merasakan duka dan kehilangan yang sama?

Tetapi, di sisi lain, kita pula yang memutuskan untuk menorehkan duka pada mereka yang berada berseberangan dengan kita. Padahal, meskipun mungkin sebagian dari kita berduka sendiri-sendiri, duka yang dirasakan oleh mereka yang kehilangan sosok yang dicintai adalah sama.

Kesedihan, baik yang histeris maupun yang eksesif, sesungguhnya meninggalkan luka yang sama dalamnya—yang sampai kapan pun, bekasnya akan selalu ada.

***

Pada September 2006 lalu, saya beruntung karena sempat mendengarkan kisah perjalanan Mbak Rien Kuntari, seorang wartawati perang yang biasa ditugaskan di daerah konflik.

Mbak Rien yang bertandang ke kantor saya waktu itu sempat berkisah mengenai pengalamannya meliput perang dan konflik di negara-negara Afrika, termasuk saat terjadinya pembantaian Rwanda (yang diangkat ke layar lebar dengan judul Hotel Rwanda) akibat perang saudara antara suku Tutsi dan Hutu, juga saat pecah Perang Teluk di Timur Tengah.

Tetapi satu hal yang paling saya ingat dari kisah Mbak Rien adalah perkataannya yang berikut ini:

”Anda tahu, di tempat yang paling sadis, di balik orang-orang yang paling keji, di sanalah saya juga menemukan sisi manusiawi dalam diri mereka.

Seorang Saddam Hussein, adalah tokoh pahlawan bagi rakyat yang setia padanya, dan ia adalah pribadi yang sangat hangat dan bersahabat. Tetapi, ia memang sangat kejam terhadap lawan-lawan politiknya.

Di sisi lain, selama saya meliput di Rwanda, ada lima orang tentara Rwanda yang mendampingi saya. Mereka tidak memperbolehkan siapa pun untuk menyakiti atau bahkan menyentuh kulit saya. Mereka juga sangat mendukung ketika saya katakan bahwa saya harus mewawancarai pihak yang berseberangan dengan mereka agar mendapatkan reportase yang berimbang. Mereka bahkan mengantar saya ke sebuah desa di mana saya bisa pergi ke sisi perbatasan lain. Setelah wawancara itu selesai, saya kembali ke desa tersebut, dan para tentara Rwanda sudah menjemput saya di sana.”

Dalam novel The Zahir, Paulo Coelho menulis mengenai kekasih tokoh utama (Esther) yang hendak menjadi seorang koresponden perang. Ketika sang tokoh utama mempertanyakan alasannya, Esther menjelaskan bahwa di medan perang, seseorang bisa lebih menghargai kehidupan.

Main character: “So why do you want to go and cover this war?”

Esther: “Because I think in time of war, men live life at the limit; after all, they could die the next day. Anyone living like that must act differently.”

***

Kemarin malam, langit berantakan oleh bintang. Terang. Saya menengadah ke langit dari balik jendela mobil yang tengah melaju di jalan bebas hambatan. Dan detik itu pula, saya menyadari bahwa di bawah naungan langit yang sama, seseorang–seperti saya, tengah menengadah pada langit yang terang oleh roket yang menyala dan berpotensi menghancurkan.

Langit yang sama menurunkan keindahan di satu belahan dunia, dan jerit mencekam di belahan dunia lainnya.

Jadi, malam itu, dan malam ini, juga malam-malam berikutnya, saya sempatkan diri untuk berdoa bagi Palestina. Bagi mereka yang berduka.

Tetapi terutama, saya berdoa untuk para jurnalis di daerah konflik dan para koresponden perang di luar sana, di mana pun mereka berada, terutama mereka yang saat ini tengah bertugas di Palestina.

Semoga mereka semua diberikan keselamatan selama menjalankan tugasnya, karena berkat merekalah kita semua mengetahui tragedi mengerikan macam apa yang terjadi di belahan lain dunia. Yang mengingatkan kita untuk mensyukuri hidup yang kita punya, dan memanfaatkannya sebaik-baiknya.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Me: I think you’re right. Remember? The day I told you that I still want to believe in love and you told me that there’s no such thing? Love, I mean.

You: Uhm… you know what? Actually, when I said that there’s no such thing, I lied.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Malam pergantian tahun yang dilewatkan dengan percakapan ringan bersama kawan-kawan lama semasa SMU memang selalu bisa menghilangkan beban pikiran (dan perasaan). Pertemuan kembali setelah berpisah beberapa lama masih menghadirkan candaan yang itu-itu saja, namun sepertinya kami tidak kunjung bosan. Semuanya begitu familiar.

Rasanya… seperti pulang ke rumah.

Dan secara harafiah, pertemuan yang berlangsung sedari siang dan baru berakhir menjelang pukul 2 pagi hari ini, memang merupakan salah satu momen ‘pulang ke rumah‘ bagi sahabat saya—yang harus menghabiskan beberapa bulan terakhir di sebuah rig di kawasan Asia Timur, sebelum bertolak ke Timur Tengah pada pertengahan Januari nanti.

I’ve known him for almost 13 years. Ya, kami sudah bersahabat sejak kelas 6 SD. Sejarah yang panjang membuat kami sudah begitu mengenal satu sama lain dengan sangat baik, sehingga kami bisa dengan bebasnya berkata jujur mengenai berbagai hal, termasuk perihal cinta yang porak-poranda dan kepingan hati yang berantakan.

Reality bites. Tapi tak mengapa, bukankah itu gunanya seorang teman? To tell you the truth. Untuk membuatmu kembali berpijak di tanah ketika kau mengawang-awang tak tentu arah. Dan percakapan yang terjadi selama berjam-jam pun tak perlu ditujukan untuk memecahkan masalah.

***

Jika semua orang mencari cinta, mengapa banyak di antara mereka yang tidak saling menemukan?

Mungkin karena setiap orang memiliki cinta dengan definisi sendiri-sendiri. Mereka tidak berbicara soal cinta dengan definisi yang sama. Itulah sebabnya, mereka tidak saling menemukan. Atau kemudian memutuskan untuk berpisah di tengah jalan.

Jadi, lain kali, ketika bertemu seseorang, kita harus bertanya demikian? Memastikan kita punya definisi yang sama mengenai cinta?

Uhm. Boleh juga. Kita bisa tanyakan, “So, what kind of love are you looking for?”

Love that! Eh, tapi jawaban gue apa, ya? It will be a name more than anything. Ntar kalo udah dapet jawabannya gue kasih tau, deh. Terus, apa jawaban lo untuk pertanyaan itu?

Simpel, sih.  Ada lagunya juga. Yang nyanyi Renee Olstead. My answer would be: a love that will last.

I want a little something more
Don’t want the middle or the one before
I don’t desire a complicated past
I want a love that will last

Say that you love me
Say I’m the one
Don’t kiss and hug me and then try to run
I don’t do drama
My tears don’t fall fast
I want a love that will last

***

Percakapan itu melarut, terus, dan terus, dan baru terhenti tiga setengah jam kemudian, ketika saya dan sahabat saya itu berkendara menuju kediaman seorang kawan, disibukkan dengan pikiran (dan perasaan) kami masing-masing.

Menjelang pukul 00:00, bersulang dengan wine (meski kehabisan Moscato d’Asti-nya sangat patut disayangkan) dan wedang ronde setelah menghabiskan beberapa tusuk sate ayam, saya dan kawan-kawan menengadah ke langit malam yang dihiasi ledakan petasan. Mengerjap di dalam gelap. Menyala sesaat dan luruh tanpa jejak. Hanya kenangan yang bertahan.

Fireworks. Ah.

Entah kapan itu, saya pernah berbincang dengan seorang kawan lama (yang sudah tak lagi percaya akan cinta—there’s no such thing, katanya), dan mengatakan padanya bahwa saya masih ingin percaya bahwa cinta sungguh-sungguh ada.

Cinta yang meledakkan kembang api di hatimu ketika kamu menatap mata seseorang yang kamu cintai. Mata yang menjelma langit malam, mata yang menawarkanmu ledakan petasan dan pertunjukan kembang api paling spektakuler yang pernah kamu saksikan, setiap kali kamu memandangnya. Dan kamu pun tahu, this is the love that will last.

1 Januari 2009. Dan harapan saya hanya satu: semoga saya masih bisa percaya bahwa cinta yang demikian itu sungguh-sungguh ada.

*) dedicated to my bestfriend JT dan percakapan panjang menjelang malam pergantian tahun barusan 🙂

HAPPY NEW YEAR, ALL!

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP