Pagi tadi, saya menerima kiriman SMS dari seorang kawan saya, seorang blogger juga, yang bekerja di salah satu organisasi internasional yang berkantor di Bursa Efek Indonesia situ.

Isinya?

Han, ada Enda Nasution, lho di Apa Kabar Indonesia TVOne *mantabh* berhadapan dengan polisi & akademisi Unpad…

Saya tahu, wawancara di TVOne pagi itu masih mengangkat tema yang terkait dengan posting NdoroKakung ini.

Saya tak hendak berkomentar banyak, dan mungkin tulisan saya berikutnya tidak terlalu berhubungan dengan isu yang banyak membuat gerah di ranah blog beberapa hari ini. Saya hanya ‘terbangunkan’ oleh isu tersebut, dan menulis postingan ini–yang jika ditanya apa kaitannya dengan isu di atas, saya pun tak bisa menjawab dengan pasti.

Saya hanya berpikir, bahwa perbedaan itu memang akan selalu ada. Dan yang berbeda itu memang tak perlu disamakan, hanya perlu dimengerti.

Jikalau ada seseorang yang membenci kita, dan melakukan hal-hal yang melukai hati kita, sesungguhnya kita punya dua pilihan:

1. merutuki orang yang membenci dan melukai kita, lalu balik mengecam atau membalasnya,

atau

2. mencoba bertanya kepada diri sendiri, mengapa orang tersebut sampai bisa sedemikian bencinya kepada kita, sehingga tega untuk hati melukai kita

Mungkin ia membenci karena ia tak mengerti. Salah paham. Karena ia melihat hal-hal yang membuatnya mengambil kesimpulan yang keliru. Mungkin ia membenci karena pengalaman pahit di masa lalu–pengalaman yang membuatnya trauma sehingga ia mulai menggeneralisasi. Mungkin ia membenci karena belum mengenal baik sesuatu. Karena mengenal orang-orang yang salah. Karena dididik untuk membenci sesuatu…

Saya kerap bertanya-tanya, mengapa banyak orang memilih untuk berkonsentrasi pada banyaknya perbedaan yang kita punya, dan bukan pada betapa banyaknya persamaan yang kita miliki.

Dan saya teringat sebuah kalimat dalam kartu pos yang dikirimkan ke PostSecret–salah satu blog favorit saya, yang dipenuhi pindaian kartu-kartu pos bertuliskan rahasia orang-orang. Kalau tidak salah, saya menemukan kartu pos yang mengesankan itu sekitar awal tahun 2000.

Saya tak ingat dan tak mencatat tautan pastinya, sehingga tak bisa menampilkan kartu pos aslinya di sini. Tetapi demikian terkesannya saya dengan kalimat di atas kartu pos itu, sehingga saya cetak di atas karton–yang kemudian saya masukkan ke dalam wadah paperclip di atas meja belajar saya.

paperclip

Bunyinya?

“I never knew that people are so identical. They just pretend they are not.”

hanny

15 Responses

  1. mengapa banyak orang memilih untuk berkonsentrasi pada banyaknya perbedaan yang kita punya, dan bukan pada betapa banyaknya persamaan yang kita miliki.

    I like this quote.. 🙂

    Terkadang seseorang memang ingin membuktikan bahwa dirinya yang paling benar, sementara yang lain, yang berbeda dengan dirinya adalah salah..

  2. “Mungkin ia membenci karena ia tak mengerti. Salah paham. Karena ia melihat hal-hal yang membuatnya mengambil kesimpulan yang keliru. Mungkin ia membenci karena pengalaman pahit di masa lalu–pengalaman yang membuatnya trauma sehingga ia mulai menggeneralisasi. Mungkin ia membenci karena belum mengenal baik sesuatu. Karena mengenal orang-orang yang salah. Karena dididik untuk membenci sesuatu…”

    yup… setuju banget, memang saatnya kita tunjukkan perilaku yang sesuai dengan idola kita, jangan sekedar ngaku-ngaku kalo kita pengikutnya padahal kelakuan kita bertolak 180 derajat, salam kenal ya..

  3. Saya kerap bertanya-tanya, mengapa banyak orang memilih untuk berkonsentrasi pada banyaknya perbedaan yang kita punya, dan bukan pada betapa banyaknya persamaan yang kita miliki.

    mungkin karena persamaan kurang bisa menarik reaksi dari orang lain, seperti yang ‘diharapkan’ 😉

  4. Kupikir jalan pintas tercepat dan termudah dalam memahami seseorang adalah dengan mengedepankan perbedaan untuk dipertentangkan, karena kebanyakan orang lebih sulit memahami persamaan yang dimiliki serta menghargai perbedaan yang dinugerahkan.
    Salam kenal ya

  5. Saya kerap bertanya-tanya, mengapa banyak orang memilih untuk berkonsentrasi pada banyaknya perbedaan yang kita punya, dan bukan pada betapa banyaknya persamaan yang kita miliki.

    Ya-ya-ya, orang lebih banyak dan lebih mau menyiksa diri mereka dengan berkonsentrasi pada perbedaan karena mereka mungkin nekrofilia.

    Mungkin perbedaan bisa memuaskan ego dan melukai orang lain menjadi bagian kepuasan itu sendiri.

    Andaikan kita tidak merasa terluka oleh upaya tersebut, kasihan banget kan orang yang memercikkan api kebencian pada perbedaan 😛

    Mari kita kasihani mereka, jangan benci dan jangan tinggalkan mereka bergelimang dalam perbedaan.

  6. Kecenderung manusia, merasa puas melakukan hal-hal kecil yang seakan hal hal besar.
    Mereka merasa penting, melakukan sesuatu yang remeh seakan-akan hal penting.
    Itu namanya Goldplatting …
    Mencari-cari alih-alih menghindari pekerjaan penting dan besar, mereka lari melakukan hal hal mudah dan gampang.

    Selagi rakyat Indonesia masih Miskin, butuh pendidikan dan kesehatan, kayaknya kita perlu buat prioritas ya.

  7. membenci karena tidak mengerti.

    saya setuju

    karena kalau mau mengerti, bahkan Ridley Scott pun bisa melahirkan film kingdom of heaven 😀

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP