Akhirnya saya mengerti. Pertalian dalam barisan-barisan aksara perempuan itu bukanlah kopi, bukan pula hujan, bukan jingga, dan bukan pula senja. Tetapi jendela.

Saya pernah bertanya kepada perempuan itu, “Mengapa harus di balik jendela?”

“Mungkin, karena di balik jendela, kita terlindung. Ada sesuatu yang membatasi kita dari dunia luar…” jawab perempuan itu.

“Takutkah kau pada dunia di luar jendela itu?”

Perempuan itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, seperti biasa. Tak membiarkan saya mengerti apa yang tengah berkecamuk dalam benaknya, apalagi mengetahui apa yang tengah bergejolak dalam hatinya.

Saya jadi teringat pada film-film Wong Kar-Wai. Sama seperti perempuan itu, Wong Kar-Wai gemar melakukan pengambilan gambar dari balik jendela atau bermain-main dengan pantulan cahaya yang ditimbulkannya. Setidaknya hal ini jelas kentara dalam film My Blueberry Nights. Dan selalu ada sebuah adegan di mana sang tokoh utama dan kawannya berbincang selagi makan.

Tetapi ketika perempuan di balik jendela itu menjadi tokoh utamanya, biasanya saya menemaninya dengan secangkir kopi. Atau teh poci. Perbincangan tentang cinta dan patah hati selalu berhasil menghilangkan nafsu makan.

Ah, perempuan itu. Yang selalu memandangi hujan dari balik jendela. Jendela sebuah kedai kopi. Jendela kamar. Jendela mobil. Mobil itu mungkin memindahkan si perempuan dari tempat yang satu ke tempat yang lain, tetapi perempuan itu sebenarnya tak pernah beranjak ke mana-mana. Ia akan tetap di sana, seperti relatif diam, memandangi hujan dari balik jendela. Satu-satunya jalan keluarnya. Objek psikologi yang rumit. Tetapi saya, saya tidak pernah mencoba untuk mengerti dia.

Dan perempuan itu selalu memilih untuk duduk di sudut yang sama, di balik jendela. Karena hujan selalu nampak lebih syahdu dari situ.

Tetapi bukankah jendela adalah kaca–dua arah? Mungkinkah perempuan itu bukan hanya ingin memandangi hujan, tetapi diam-diam berharap bahwa hujan akan balik memandangnya dari luar sana? Jangan-jangan, selama ini perempuan itu berharap suatu hari hujan akan menyadari keberadaan perempuan itu di balik jendela, kemudian balik memandangnya. Mereka bertatapan, bertukar senyum, dan hujan melempar sapa bersama hembusan angin yang menyelinap dari celah-celah yang terbuka.

“Hai,” hujan menyapa, terkejut melihat perempuan itu tengah memandanginya. “Aku tak tahu bahwa ada kau di sini.”

Perempuan itu tersipu. “Aku sudah selalu berada di sini sejak dulu…

“Ah, andai saja aku tahu lebih awal…” hujan menatap malu-malu dari balik rinainya.

“Tak mengapa, penantian ini sepadan,” perempuan itu tersenyum.

dolorosasinaga
a sculpture by Dolorosa Sinaga, Galeri Nasional, 2008

Di bulan November ini, saya melihat perempuan itu lagi, di balik jendelanya. Sudah beberapa waktu lamanya dia menghilang, tetapi hari ini ia datang lagi. Memandangi hujan. Ada sesuatu yang telah berubah dari dirinya, meski saya tak tahu persis apa.

“Apa yang kau takutkan di luar sana?” saya bertanya.

“Aku takut jika lagi-lagi terluka,” ia menjawab.

Ah, perempuan itu. Yang masih ingin percaya bahwa cinta sungguh-sungguh ada. Yang masih saja tersenyum, meskipun hatinya menangis.

“Tak apa,” perempuan itu menyesap kopinya. “I’ll get over November. All of us will.

Ketika saya berbalik pergi meninggalkan perempuan itu dengan kopi, hujan, dan jendelanya, dari kejauhan masih terdengar samar-samar lagu lawas dari 2 Unlimited:

If I make a promise, I’ll never let you down
Love will always break your heart, so they say
But we can turn that round.
There’s nothing like the rain, falling down again
To come and wash away the pain
There’s nothing like the rain, nothing like the rain
To clear the air so we see again…

————–

*)romantisasi percakapan dengan seorang kawan pada suatu senja yang berhujan

hanny

47 Responses

  1. romantisasi yang benar2 romantis πŸ™‚
    perempuan.. dengan segala ketegarannya…
    mempercayai bahwa cinta benar2 ada adalah kekuatannya..setidaknya bagiku..yg juga perempuan πŸ˜€

  2. @mutia: eh, ada mutiii kok kita belum sebis bareng lagi, mut πŸ˜€

    @aya: hai, aya… jadi, kita masih percaya bahwa cinta itu benar-benar ada, ya? πŸ˜‰

  3. yup…cuma percaya pada cinta yang mengantarkan kita pada kebahagiaan πŸ™‚ setidaknya itulah keyakinanku… dan pasti saya percaya cinta benar2 ada
    salam kenal mbak hanny…saya belajar banyak pada anda πŸ™‚

  4. “Perbincangan tentang cinta dan patah hati selalu berhasil menghilangkan nafsu makan”

    Aha resep diet dari Hanny, catet ahhh…

    hah??? apa lagi yang mau didietin? udah langsing begituuuh πŸ˜€

  5. the rain will fall… the rain will fall…

    Jadi kangen sama lagunya Mocca…

    dan dalam sekejap semua kenangan itu kembali menyeruak hadir dalam ingatan…

  6. Ketika membaca kata romantisasi, dalam benakku berimajinasi adegan sesungguhnya: Dua orang sahabat ketemu di break kafe jalan kaliurang km 5 Yogya secara kebetulan, terus bergosip menertawakan cinta, ditemani gelak luka serta dua cangkir kopi, satu berisi kopi pahit, satu lagi berisi kapucino,

    buatku: dua orang sahabat bertemu di food court Plaza Semanggi yang ramai, kemudian duduk di tengah keramaian itu, dengan orang-orang yang tak peduli tertawa dan berteriak keras, mendentingkan sendok dan piring. dua orang sahabat, menertawakan masa lalu, ditemani bayangan mengenai masa depan, terpisahkan oleh sebuah poci keramik. teh poci itu tidak ada habis-habisnya meski mereka sudah saling bicara selama berjam-jam πŸ˜‰ salam!

  7. listen to the singing of the falling rain,,
    itulah yang terjadi di kota saya saat ini yang membuat saya harus terus basah setiap pergi kerja,
    maklum lom punya mobil :mrgreen:

  8. fuiH,..berat2 bgt ceritanya ku tak sanggup mencernanya lbih dalam berliuk diantara harapan dan nestapa..

    pangeran kerajaan buri-buri

  9. Wah, kalau teringat bulan November saya terkenang kembali masa-masa bulan-bulan yang telah lalu…. Ketika saya tidak patuh pada orang tua, ketika saya membohongi orang-orang terdekat saya…. Saya merasa sangat berdosa dan ingin bertobat!!!!! Hidup adalah ibadah!!!! purworejo

  10. Jendela itu kadang menjadi metafora dari pasifisme, sikap diam. Itu sebabnya jendela dalam Chungqing Express –film Kar Wai yg lbh tua– terasa berbeda dg Bluebery, karena si perempuan muda itu hadir dalam aktivisme yang lincah dan tak menunggu. Di situ, kehadiran jendela dalam beberapa long-shoot, terasa lebih segar. Atau, lihat bagaimana Toto –si kecil dalam Cinema Paradiso– menghadirkan jendela [bioskop] di ruang proyektor dengan cara yang jauh lebih riang lagi….

    *aku lagi omong opo toh? :d*

    ah, suatu kehormatan bagi saya mendapatkan kunjungan dari sang pejalan jauh. satu hal yang paling saya suka dari jendela: pemandangan di luar jendela tak pernah sama, meskipun saya selalu melihat keluar dari jendela yang sama πŸ™‚

  11. saluuuuuut…..buat mb hanny
    ga sengaja nih nyasar ke blog ini..

    dan…..

    bagus2 bgt tulisannya…
    sampai ku tak bisa berkata2…
    halah…

    salam kenal aja buat mb hanny…

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekendβ€”I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting lifeβ€”one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP