Akhirnya! 🙂

Terlepas dari segala kekurangan yang ada, akhirnya Pesta Blogger 2008 terlaksana juga! Semua lelah dan penat—akibat hanya tidur selama 2 jam pada malam sebelum acara digelar—rasanya langsung berganti dengan semangat ketika bersinggungan dengan senyum, gelak tawa, sapa, jepretan kamera, peluk erat, jabat tangan, lambaian, serta tepukan di bahu dari kawan-kawan blogger ketika saya tengah berjalan hilir mudik kesana kemari pada hari Sabtu (22/11) kemarin.

Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih banyak, atas dukungan, masukan, dan semangat yang diberikan oleh kawan-kawan blogger—baik yang dapat maupun yang belum dapat menghadiri acara Pesta Blogger 2008; karena di tengah tekanan yang semakin memuncak mendekati pelaksanaan Pesta Blogger, suntikan semangat dari kawan-kawan blogger-lah yang membuat saya (dan Dimas) bisa tetap waras di tengah persiapan acara yang menggila 😀

Malam sebelum Pesta Blogger 2008, sebenarnya saya ingin datang ke Muktamar Blogger di BHI, tetapi apa daya. Saya, Dimas, dan Indri masih harus melantai di kantor, melayani telepon-telepon sehubungan dengan perijinan loading para sponsor, mempersiapkan dan memperbanyak dokumen-dokumen, mengurus pengiriman barang-barang dan mendatanya satu per satu, berkoordinasi tanpa henti dengan EO untuk perubahan-perubahan mendadak sehubungan dengan acara esok hari yang berada di luar kuasa kami…

Dan dari meja saya yang berantakan dan dipenuhi tumpukan kertas, saya melihat mata Dimas sudah merah karena tak henti-henti menatap layar komputer dan program Excell, mendata dan mengecek ulang nama-nama para peserta (baik yang sudah dan belum konfirmasi), serta melayani puluhan email berisi pertanyaan seputar registrasi Pesta Blogger 2008.

Waktu itu pukul setengah dua pagi.

Energi dan konsentrasi sudah menurun drastis. Kantuk mulai menyerang dan punggung juga terasa pegal. Mata mulai lelah dan semakin memerah. Saat itulah, Dimas memutuskan beristirahat sebentar dan membuka Plurk. Tiba-tiba Dimas berkata, “Han, ini Momon nulis di Plurk, mari kita mendoakan dimasnovriandi dan hanny supaya budi baik mereka bagi PestaBlogger diterima oleh yang di atas sana…

Oh.

Tak terasa, mata saya berkaca-kaca. Saya terharu. Sungguhan. Rasanya ingin menangis.

Pada pukul setengah tiga pagi, giliran Wazeen yang menyapa saya melalui jendela pesan instan: “Bu, tidur dulu, nggak usah dipikirin…” Ketika tahu bahwa saya masih berada di kantor, Wazeen pun mengucapkan ‘good-luck’ diiringi tanda titik dua dan kurung tutup 🙂

Baru pukul setengah 4 pagi saya dan Dimas beranjak tidur. Rasanya mata belum sempat terpejam, tiba-tiba saja pukul setengah 6 pagi ditandai dengan alarm telepon genggam yang berbunyi. Kami pun beringsut bangun, mandi, dan berangkat menuju kantor untuk melakukan pengecekan dan persiapan terakhir.

Menjelang pukul 7, tiba-tiba jendela pesan instan terbuka. Ternyata Pak Dhe Mbilung, yang berkata, “Saya suka phrase ‘like a mosquito in a nudist colony‘. Dan itu pas buatmu sama dimas hari ini kayaknya. Sibuk mestinya. Dan thanks sebelumnya sudah susah-payah mengumpulkan kami semua…”

Dan mata saya pun langsung berkaca-kaca lagi. Duuuh.

Untuk Momon, Wazeen, dan Pak Dhe Mbilung, terima kasih banyak! Kalian tidak tahu betapa berartinya semua itu untuk kami 🙂

***

Sepanjang acara Pesta Blogger, saya pun tak punya banyak waktu untuk mengobrol dengan kawan-kawan blogger; karena sibuk mengatur jalannya acara. Sempat merasa kepingin juga melihat teman-teman duduk-duduk lesehan dan mengobrol santai sambil berfoto ria 🙂

Untungnya, ketika tengah berjalan-jalan kesana kemari saya sempat bertukar sapa dan bertukar peluk dengan kawan-kawan blogger… (Mbok Venus, halo halo! 😀 hehehe), dan sempat juga nebeng berfoto sebentar (bersama Nyonya-nya Tuan) sebelum kemudian lagi-lagi ngacir pergi.

Kalau Gita ingin bertemu dan berfoto bersama Raditya Dika pada Pesta Blogger 2008 kemarin (dan misinya ini berhasil) :D—saya juga akhirnya berhasil bertemu dengan Herman Saksono alias Momon!

momon-1
foto diambil diam-diam, tanpa sepengetahuan objek penderita di J-Co PIM 2 kemarin sore. di luar hujan. dapat kabar bahwa yudhis (tukang kopi) ketinggalan pesawat...

Setelah sekian lama, akhirnya bisa ketemu Momon in person. Seru sekaligus terharu 🙂

Juga seru, karena akhirnya saya bertemu dengan sosok lelaki di balik blog Nguping Jakarta, yang (ternyata oh ternyata) adalah seseorang yang selama ini saya kenal! 😀

Meskipun pada hari Sabtu itu saya tak bisa nongkrong lama-lama dengan Momon dan teman-teman Cah Andong lainnya, akhirnya pada hari Minggu kami mendamparkan diri untuk perhelatan Pesta Blogger 2008 lanjutan di PIM 2 😀 — tepatnya menggelar pesta foto dessert di Sushi Tei.

picture-1
berpose di depan sushi tei setelah mengantri lama karena masuk waiting list... foto dipinjam dari hasil jepretan momon 😀

Ah, dan akhirnya saya bertemu juga dengan Antobilang yang kemarin-kemarin hanya sempat email-email-an terkait Photo Contest Pesta Blogger, Iphan yang lucu dan menggemaskan (Iphaaann!!! Main, yuuuk!), Nico (makasih yaaa atas traktiran capucinno-nya), dan Gun(awan Rudy) dengan tasnya yang naudzubillah besarnya itu.

Terima kasih, semua! 🙂

Untuk Ong, Ndoro Rama-rama :D, Mas Iman, Mas Enda, Iqbal, Chika, Dimas, Indri, Mbak Shinta, Goen, Ronggur, Rangga, Adit, Anto, dan kawan-kawan di Maverick yang bersedia mengorbankan hari liburnya dan membantu saya seharian pada hari Sabtu kemarin… terima kasih banyak!

*peluk*

PS: Pagi ini, begitu sampai di kantor, saya melihat notifikasi di Facebook mengenai foto-foto dari acara Sabtu-Minggu kemarin yang baru diunggah, dan melihat itu semua membuat saya jadi kangen kalian lagi! 🙂 Dan selamat untuk Cah Andong yang berhasil menyabet Blogging for Society Award Pesta Blogger 2008 dan juga teman-teman di Bali Blogger Community sebagai The Most Promising Blogger Community in 2008!

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Pagi tadi, saya menerima kiriman SMS dari seorang kawan saya, seorang blogger juga, yang bekerja di salah satu organisasi internasional yang berkantor di Bursa Efek Indonesia situ.

Isinya?

Han, ada Enda Nasution, lho di Apa Kabar Indonesia TVOne *mantabh* berhadapan dengan polisi & akademisi Unpad…

Saya tahu, wawancara di TVOne pagi itu masih mengangkat tema yang terkait dengan posting NdoroKakung ini.

Saya tak hendak berkomentar banyak, dan mungkin tulisan saya berikutnya tidak terlalu berhubungan dengan isu yang banyak membuat gerah di ranah blog beberapa hari ini. Saya hanya ‘terbangunkan’ oleh isu tersebut, dan menulis postingan ini–yang jika ditanya apa kaitannya dengan isu di atas, saya pun tak bisa menjawab dengan pasti.

Saya hanya berpikir, bahwa perbedaan itu memang akan selalu ada. Dan yang berbeda itu memang tak perlu disamakan, hanya perlu dimengerti.

Jikalau ada seseorang yang membenci kita, dan melakukan hal-hal yang melukai hati kita, sesungguhnya kita punya dua pilihan:

1. merutuki orang yang membenci dan melukai kita, lalu balik mengecam atau membalasnya,

atau

2. mencoba bertanya kepada diri sendiri, mengapa orang tersebut sampai bisa sedemikian bencinya kepada kita, sehingga tega untuk hati melukai kita

Mungkin ia membenci karena ia tak mengerti. Salah paham. Karena ia melihat hal-hal yang membuatnya mengambil kesimpulan yang keliru. Mungkin ia membenci karena pengalaman pahit di masa lalu–pengalaman yang membuatnya trauma sehingga ia mulai menggeneralisasi. Mungkin ia membenci karena belum mengenal baik sesuatu. Karena mengenal orang-orang yang salah. Karena dididik untuk membenci sesuatu…

Saya kerap bertanya-tanya, mengapa banyak orang memilih untuk berkonsentrasi pada banyaknya perbedaan yang kita punya, dan bukan pada betapa banyaknya persamaan yang kita miliki.

Dan saya teringat sebuah kalimat dalam kartu pos yang dikirimkan ke PostSecret–salah satu blog favorit saya, yang dipenuhi pindaian kartu-kartu pos bertuliskan rahasia orang-orang. Kalau tidak salah, saya menemukan kartu pos yang mengesankan itu sekitar awal tahun 2000.

Saya tak ingat dan tak mencatat tautan pastinya, sehingga tak bisa menampilkan kartu pos aslinya di sini. Tetapi demikian terkesannya saya dengan kalimat di atas kartu pos itu, sehingga saya cetak di atas karton–yang kemudian saya masukkan ke dalam wadah paperclip di atas meja belajar saya.

paperclip

Bunyinya?

“I never knew that people are so identical. They just pretend they are not.”

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Akhirnya saya mengerti. Pertalian dalam barisan-barisan aksara perempuan itu bukanlah kopi, bukan pula hujan, bukan jingga, dan bukan pula senja. Tetapi jendela.

Saya pernah bertanya kepada perempuan itu, “Mengapa harus di balik jendela?”

“Mungkin, karena di balik jendela, kita terlindung. Ada sesuatu yang membatasi kita dari dunia luar…” jawab perempuan itu.

“Takutkah kau pada dunia di luar jendela itu?”

Perempuan itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, seperti biasa. Tak membiarkan saya mengerti apa yang tengah berkecamuk dalam benaknya, apalagi mengetahui apa yang tengah bergejolak dalam hatinya.

Saya jadi teringat pada film-film Wong Kar-Wai. Sama seperti perempuan itu, Wong Kar-Wai gemar melakukan pengambilan gambar dari balik jendela atau bermain-main dengan pantulan cahaya yang ditimbulkannya. Setidaknya hal ini jelas kentara dalam film My Blueberry Nights. Dan selalu ada sebuah adegan di mana sang tokoh utama dan kawannya berbincang selagi makan.

Tetapi ketika perempuan di balik jendela itu menjadi tokoh utamanya, biasanya saya menemaninya dengan secangkir kopi. Atau teh poci. Perbincangan tentang cinta dan patah hati selalu berhasil menghilangkan nafsu makan.

Ah, perempuan itu. Yang selalu memandangi hujan dari balik jendela. Jendela sebuah kedai kopi. Jendela kamar. Jendela mobil. Mobil itu mungkin memindahkan si perempuan dari tempat yang satu ke tempat yang lain, tetapi perempuan itu sebenarnya tak pernah beranjak ke mana-mana. Ia akan tetap di sana, seperti relatif diam, memandangi hujan dari balik jendela. Satu-satunya jalan keluarnya. Objek psikologi yang rumit. Tetapi saya, saya tidak pernah mencoba untuk mengerti dia.

Dan perempuan itu selalu memilih untuk duduk di sudut yang sama, di balik jendela. Karena hujan selalu nampak lebih syahdu dari situ.

Tetapi bukankah jendela adalah kaca–dua arah? Mungkinkah perempuan itu bukan hanya ingin memandangi hujan, tetapi diam-diam berharap bahwa hujan akan balik memandangnya dari luar sana? Jangan-jangan, selama ini perempuan itu berharap suatu hari hujan akan menyadari keberadaan perempuan itu di balik jendela, kemudian balik memandangnya. Mereka bertatapan, bertukar senyum, dan hujan melempar sapa bersama hembusan angin yang menyelinap dari celah-celah yang terbuka.

“Hai,” hujan menyapa, terkejut melihat perempuan itu tengah memandanginya. “Aku tak tahu bahwa ada kau di sini.”

Perempuan itu tersipu. “Aku sudah selalu berada di sini sejak dulu…

“Ah, andai saja aku tahu lebih awal…” hujan menatap malu-malu dari balik rinainya.

“Tak mengapa, penantian ini sepadan,” perempuan itu tersenyum.

dolorosasinaga
a sculpture by Dolorosa Sinaga, Galeri Nasional, 2008

Di bulan November ini, saya melihat perempuan itu lagi, di balik jendelanya. Sudah beberapa waktu lamanya dia menghilang, tetapi hari ini ia datang lagi. Memandangi hujan. Ada sesuatu yang telah berubah dari dirinya, meski saya tak tahu persis apa.

“Apa yang kau takutkan di luar sana?” saya bertanya.

“Aku takut jika lagi-lagi terluka,” ia menjawab.

Ah, perempuan itu. Yang masih ingin percaya bahwa cinta sungguh-sungguh ada. Yang masih saja tersenyum, meskipun hatinya menangis.

“Tak apa,” perempuan itu menyesap kopinya. “I’ll get over November. All of us will.

Ketika saya berbalik pergi meninggalkan perempuan itu dengan kopi, hujan, dan jendelanya, dari kejauhan masih terdengar samar-samar lagu lawas dari 2 Unlimited:

If I make a promise, I’ll never let you down
Love will always break your heart, so they say
But we can turn that round.
There’s nothing like the rain, falling down again
To come and wash away the pain
There’s nothing like the rain, nothing like the rain
To clear the air so we see again…

————–

*)romantisasi percakapan dengan seorang kawan pada suatu senja yang berhujan

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Columbus, Ohio. Setelah konser usai, ia pergi ke belakang panggung, duduk-duduk di sana sambil mengobrol dengan kumpulan teman-temannya. Waktu itu gelap.

Seorang lelaki keluar membawa kaleng bir di tangan, dan ia pun menyapa lelaki itu: “Wah, dapet bir dari mana? Kok gue nggak liat ya, tadi?”

Lelaki yang disapanya itu pun spontan menyodorkan kaleng birnya: “Ya udah, nih, buka aja, lo minum aja dulu.”

Ia terkejut melihat wajah lelaki yang menyodorkan kaleng bir itu, tetapi ia buka juga kaleng yang kini berada dalam genggamannya, menyesap isinya sedikit, kemudian dengan ragu-ragu mengoperkannya kembali kepada lelaki berambut ikal dan gondrong itu.

Lelaki itu tertawa. “Ya elaaaah, lo sih cuma bisa buka-nya doaaang!!!”

Ia pun ikut tertawa. Suasana cair, dan mereka pun mengobrol santai sebelum berakhir di sebuah klub bersama kawan-kawan lelaki itu.

Ia adalah kawan saya. Lelaki itu adalah Kaka Slank.

picture-3
Slank @ Columbus, OH

“Slank itu salah satu inspirasi gue, nggak nyangka aja bisa hang out bareng ama mereka. Tapi yang paling berkesan, ya… itulah! Si Kaka share bir sama gue!” ujar kawan saya takjub.

Lama setelah pertemuan dengan orang yang diharapkan atau diimpikan terjadi, terkadang yang tertinggal memang bukan ingatan penuh mengenai percakapan yang dilakukan, atau lelucon-lelucon yang dilontarkan. Lebih kerap, yang tertinggal setelah sekian lama adalah kesan akan sebuah gestur kecil.

Senyuman. Suara. Sentuhan. Hal-hal yang wajar. Apa adanya. Sincere.

Interaksi singkat, tetapi lekat.

***

Jakarta, November 2000. Anak perempuan itu masih duduk di bangku SMU, dan masih tergila-gila dengan gitar (dan gitaris), serta masih rajin mengoleksi kaset-kaset Satriani dari tahun 1983.

Pada suatu kesempatan, di sebuah studio, ketika anak perempuan itu dan beberapa orang kawannya datang untuk menjemput gitaris favoritnya menuju hotel yang akan diinapi sebelum manggung, sang gitaris menyambut anak perempuan berseragam putih abu-abu yang tidak penting itu—dengan senyum lebar, dan sapaan “haiii”, juga satu tepukan di kepala.

Anak perempuan itu saya. Gitaris itu dia. Dan satu tepukan di kepala itu… awesome 😀

Some people think you’ve got to live your life one way
I disagree
I’m not gonna pay attention to them anyway
It’s got nothin’, Nothin’ to do with me

Life is so short, we’ve got
no time to waste at all

I just wanna ride
Get on my bike and ride
I just wanna ride
Get on my bike and ride

Ride – Flying in A Blue Dream, Satriani

Ah, apa momen-momen macam demikian juga pernah Anda alami suatu saat dulu? Atau mungkin malah baru-baru ini?

—————————————-

PS: Di, titip salam buat Slank kalau sudah sampai di Chicago tanggal 11 nanti. Salam dari Anyer 10 Maret! 😉

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Perempuan itu sedikit terkejut ketika menemukan dirinya sendiri kembali berada di sini. Di balik jendela, dengan secangkir kopi panas di tangan kanan, laptop yang terbuka di pangkuan, dan pandangan yang tak bisa lepas dari titik-titik hujan. Ada dingin dan hangat yang melebur menjadi satu, sehingga ia bahkan tak lagi mampu memilah-milah kedua rasa itu.

Perempuan itu hanya bisa mereguk semuanya, seperti yang pernah ia janjikan pada dirinya sendiri suatu pagi, dulu. Bahwa ia akan mereguk semua yang hidup tawarkan untuknya. Pahit atau manis, ia tahu bahwa ia akan baik-baik saja. Karena bukankah ia telah melewati berbagai cobaan dalam hidup dan masih saja selalu bisa menemukan kenyamanan dalam serintik hujan dan secangkir kopi?

Jadi, perempuan itu kembali lagi ke tempatnya yang biasa, yang penuh dengan kenangan, impian, dan sedikit harapan yang tersisa dari hal-hal yang masih ingin ia percayai.

Setelah memutuskan untuk melangkah pergi dan mulai terbiasa dengan perjalanan yang menyenangkan, perempuan itu mulai lupa betapa dulu ia pernah begitu nyaman berada di sini, di tempatnya yang sekarang ini. Dan ketika tiba-tiba saja ia harus kembali pulang dari perjalanannya, ia tak bisa memungkiri bahwa semua yang dahulu terasa akrab, kini telah berubah menjadi sedikit asing baginya.

Ia perlu membiasakan diri kembali untuk jatuh cinta pada sepi, pada hujan, pada secangkir kopi… pada rangkaian aksara yang tersusun satu demi satu dalam bingkai jendela biru muda di layar komputernya, serta pada sebuah surat lusuh dari sebuah waktu yang jauh, yang ia temukan terlipat dalam lapisan dalam dompet lamanya:

Jangan menangisi segala yang pergi, sebab waktu berjalan ke depan, dan tak ada kekuatan apapun dari tangan kita untuk sekadar mengubah garis nasib. Kehilangan telah menyadarkan kita bahwa tak ada yang bisa sungguh-sungguh kita miliki.

Tetapi yakinlah, masih akan selalu ada pagi yang lain menanti ketika hari berganti. Dan suatu saat nanti, ketika waktunya tiba, kita akan terbangun pada suatu sisi pagi yang lain itu; yang belum pernah kita lihat sebelumnya—dan tak pernah kita sadari keberadaannya; setidaknya untuk saat ini.

Hanya karena sesuatu itu tidak kita ketahui keberadaannya, bukan berarti sesuatu itu tidak ada.

Perempuan itu tersenyum. Pahit, manis, tak mengapa. Karena tak ada yang pernah ia sesali. Jadi, ia hirup secangkir kopinya dalam-dalam, menikmati sensasi kedua rasa yang berbaur sempurna itu (terasa persis seperti tawa dan air mata), sementara lagu No Regrets dari Robbie Williams berputar pelan di sudut ruangan:

Remember the photographs, insane
The one where we all laughed, so lame
We were having the time of our lives
Well thank you, it was a real blast
No regrets…

Ya, perempuan itu tak pernah menyesali semua yang pernah terjadi, dan masih akan menanti satu hari yang dijanjikan itu: ketika ia terbangun pada suatu sisi pagi yang lain, yang belum pernah ia lihat sebelumnya, dan belum ia sadari keberadaannya.

Tetapi saat ini, ia hanya butuh waktu beberapa menit saja untuk kembali memandangi hujan dari balik jendela; sebelum menerobos pintu depan dan berlari ke tengah jalan, serta membiarkan dirinya basah kuyup diterjang badai yang menggila. Biarkan saja, tak mengapa. Karena hari ini, di sini, sekali lagi, ia siap menghadapi dunia dan mengejar mimpi-mimpinya.

Sekali lagi.
Dan sekali lagi.
Dan sekali lagi.

Dan akan selalu begitu.

Untuk seterusnya, seumur hidupnya.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP