Ada sebuah perkataan berbunyi demikian: kita melihat apa yang ingin kita lihat, dan mendengar apa yang ingin kita dengar.

Saya pikir, perkataan itu ada benarnya. Silakan Anda ajak lima orang kawan Anda berhenti sejenak ketika lampu lalu-lintas menyala merah, kemudian setelah lalu-lintas bergerak kembali, tanyakan kepada mereka, apakah satu momen atau satu objek yang paling berkesan yang tertangkap oleh mata mereka ketika melintas di sana barusan.

Saya yakin, Anda akan mendapatkan jawaban yang berbeda-beda.

Saya sendiri pernah menangkap momen ini: seorang gadis kecil, dengan ‘kicrikan dari gelas air mineral buatan sendiri, duduk di bawah lampu lalu-lintas tak jauh dari kawasan Tanah Abang (mari namai dia “gadis kicik-kicik”). Ya, dan masih ada begitu banyak momen yang tersebar di sekitar kita, ditawarkan oleh dunia untuk ditangkap setiap harinya oleh panca indera.

Konon, di salah satu buku marketing yang pernah saya baca (saya lupa apa tepatnya), kanal televisi anak-anak Nickelodeon sempat mempergunakan kejelian anak-anak kecil untuk “menangkap momen” sehari-hari melalui sebuah kamera sekali pakai. Dari momen-momen yang “dijepret” oleh anak-anak kecil itu (berupa berlembar-lembar foto), Nickelodeon berhasil mengetahui objek dan momen macam apa saja yang dekat dan relevan di mata anak-anak—sebagai target audiens mereka.

Menjadi menarik, kemudian, untuk mengetahui momen macam apa yang dilihat dekat dengan tema Pesta Blogger 2008 tahun ini, “blogging for society” dari balik lensa mata (atau kamera) para bloggers. Ya, melalui Photo Contest Pesta Blogger 2008, para bloggers dan penggemar fotografi diajak untuk turut menyumbangkan momen “blogging for society” yang mereka tangkap sehari-hari, untuk kemudian dikompetisikan di hadapan juri-juri yang sudah begitu lama wara-wiri di dunia fotografi profesional Indonesia.

Dan sejauh yang saya ketahui, tiga orang dari jajaran dewan juri itu merupakan pribadi-pribadi yang bukan hanya piawai dalam menangkap momen—tapi juga dalam menikmatinya, to the fullest.

Bang Arbain Rambey, misalnya. Di pertemuan pertama saya dengannya untuk melakukan interview beberapa waktu lalu, kami berbincang seru mengenai banyak hal. Bang Arbain bercerita tentang perjalanannya ke Bunaken, kecintaannya pada kamera-kamera tua, keluarganya… semua itu dikisahkan dengan penuh gairah, cinta, semangat. Saya juga kagum pada Bang Arbain yang kemudian melepaskan posisi belakang meja untuk terjun kembali ke lapangan demi memuaskan dahaganya untuk ‘menangkap momen’.

Sudah beberapa tahun belakangan ini saya juga sempat bekerja sama dengan Mas Oscar Motuloh dari Galeri Foto Jurnalistik (GFJ) Antara. Mas Oscar juga pribadi yang santai, sangat awet muda, karismatik, dan selalu menonjol di tengah keramaian dan mudah dikenali karena rambut gondrong abu-abunya yang sebahu dan kebiasaannya mengenakan kaos berwarna hitam. Pribadi yang menyenangkan dan bersahaja.

Dan Jerry Aurum, yang baru-baru ini menangkap keindahan perempuan dalam pameran (dan buku) Femalography-nya dan sering mampir ke kantor saya untuk menjenguk sahabatnya setelah pulang dari berbagai episode jalan-jalannya ke berbagai belahan dunia, juga dikenal luas sebagai orang yang supel, ramah, dan gemar bercanda.

Mungkinkah mereka menjadi pribadi-pribadi yang kaya karena mereka sering menangkap momen lewat bidikan lensa kamera? Karena semakin sering kita menangkap momen-momen itu, pastilah ada beberapa detik waktu yang kita luangkan untuk berpikir. Mencerna. Merasa. Dan kemudian menghargai setiap momen yang ada—serta tidak membiarkannya lewat sia-sia.

Jika Anda masih tak percaya diri menangkap momen lewat lensa kamera, tak ada salahnya mencoba menangkap momen lewat lensa mata—kamera tercanggih di alam semesta. Jadi, edarkan pandangan ke sekeliling Anda. Sesekali, berhentilah nge-plurk atau mengirimkan SMS gratis di tengah kemacetan, dan lihatlah dunia yang berputar di luar layar berukuran sekian kali sekian inci di hadapan Anda itu.

Lihat. Dan rasakan…

hanny

12 Responses

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP