Pak,

Maaf karena malam ini saya tak mengajak Bapak berbasa-basi, tetapi hanya menggumamkan selamat malam dan langsung meminta diantarkan ke UKI Cawang. Maaf juga karena saya langsung membuang pandangan ke luar jendela dan memasang earphoneโ€”sebagai isyarat agar tidak diganggu; kemudian memilih untuk melarut bisu diiringi denting-denting piano melankolis dari album The Yellow Room-nya Yiruma.

Ah, jendela ini, Pak. Rasanya seperti sudah lama sekali saya tidak berakrab-akrab dengan jendela di sisi kiri ini; dan sedikit banyak kini rasanya seperti sebuah reuni yang tertunda. Jadi, biarkanlah saya menjadi autis di sini, ya, Pak. Saya hanya ingin diam selama beberapa puluh menit ke depan dan melihat adegan macam apa yang akan ditawarkan jendela malam ini.

Oh, lampu-lampu itu. Iya, oranye, kuning, merah, biruโ€”memancar dari gedung-gedung tinggi di kawasan segitiga ini. Tahukah Bapak, bahwa ada orang yang suka memandangi lampu-lampu ini dari jendela kantornya?

Ah, tapi coba lihat pohon-pohon di sepanjang jalan ini. Setiap helai daunnya dilapisi entah berapa tahun tumpukan debu dan polusi, diam tak bergerak. Angin tak bertiup malam ini, dan bintang seperti tiba-tiba hilang. Sebuah kantong plastik putih tertiup angin dan tercemplung ke dalam selokan. Orang-orang lalu-lalang mengejar bis yang tidak mau berhenti. Sirene dan lampu biru itu menandakan ada pejabat yang akan lewat, ya, Pak? Dan kita terpaksa berhenti dulu di sini.

Coba lihat tembok Semanggi itu, Pak. Ada tulisan-tulisan dengan piloks: nama perempuan, nomor telepon genggam, dan pesan untuk menghubungi. Menurut Bapak ini serius atau bercanda? Dan setujukah Bapak kalau saya katakan pasti pernah ada setidaknya satu orang saja di kota ini yang mencoba menelepon ke nomor yang terpampang besar-besar di tembok pinggir jalan itu? Nah, lalu-lintas sudah bergerak lagi, Pak. Bergerak dalam kecepatan 10 kilometer per jam.

Pengamen menyanyi di atas Kopaja yang penuh sesak dengan wajah-wajah letih dan diuapi kumpulan keringat dalam satu hari. Lampu jalan berwarna oranye terang itu menyebalkan, Pak. Memang biasanya nampak indah, tapi sebenarnya menakutkan. Coba saja Bapak berdiri di bawahnya dan lihat bagaimana kulit Bapak akan nampak sedemikian pucat seperti makhluk yang sekarat.

Yah, motor itu sudah resmi mogok rupanya, Pak. Tidak bisa bergerak kini. Dan lelaki pengemudinya dihujani lengkingan klakson yang membuat kita ingin memaki itu. Lebih banyak motor merangsek ke trotoar dan mengklakson para pejalan kaki. Saya benci bunyi klakson, Pak. Tidakkah Bapak juga membencinya? Pasti Bapak juga sudah jengah mendengarnya setiap hari ketika terperangkap dalam gilanya kemacetan seperti ini.

Pak, Metro Mini itu menabrak taksi. Nah, sekarang pengemudi taksi bertengkar dengan kernet Metro Mini. Kakek tua itu memikul dagangannya yang masih penuh, berjalan kaki di tengah kota yang hiruk-pikuk ini. Menurut Bapak, cukupkah penghasilannya untuk bisa memberi makan keluarganya hari ini? Ada perempuan dengan tank top hitam dan celana jins menyisir rambut di depan sebuah SPBU. Seorang lelaki pincang yang berjalan dengan tongkat melintas di depan billboard besar yang mengiklankan sabun mandi beraroma Sakura Sensation. Seorang ibu menggendong bayinya yang terbungkus kain batik di boncengan motor.

Signboard karaoke dan bar di sebuah bangunan kusam yang remang-remang berkelap-kelip di sebelah reklame sebuah pusat pendidikan Bahasa Inggris. Polisi menghentikan jalur kanan dari arah jembatan. Kita berhenti lagi, Pak. Motor-motor itu terus membunyikan klakson, membuat saya ingin menjerit keras-keras meminta mereka berhenti. Motor-motor baris terdepan berusaha menerobos, namun segera mengerem setelah Pak Polisi mengacungkan tongkatnya yang merah menyala sambil memaki. Yang dijawab lagi dengan klakson dan makian. Semakin keras. Semakin keras. Semakin keras.

Ya, kita sudah bisa jalan lagi, melewati anak-anak jalanan yang tidur-tiduran sambil tertawa ngakak di halte.

Malam ini memang aneh, Pak. Biasanya saya bisa menikmati semuanya. Kemacetan menjadi semacam keistimewaan untuk mengistirahatkan pikiran atau merencanakan masa depan. Lampu-lampu biasanya membuat mata saya terhibur dan melayangkan ingatan pada video klip dari masa lalu. Apakah semua itu dikarenakan saya memilih untuk melihat apa yang ingin saya lihat, ya, Pak?

Entah mengapa malam ini saya malah melihat Jakarta yang tidak ramah dan tidak pedulian, Pak. Sebuah kota di mana semua orang sibuk berjalan sendiri-sendiri, memendam beban sendiri-sendiri, bersedih sendiri-sendiri… dan sudah berapa juta wajah yang kita lewati malam ini, ya, Pak?

Oh ya, ngomong-ngomong, tahukah Bapak kira-kira berapa liter air mata yang tumpah di kota ini setiap harinya?

Ah, sudahlah, Pak. Jangan dipikirkan pertanyaan aneh dan tak penting itu. Saya memang sedang ngawur. Pasti sulit sekali untuk mengukur berapa liter air mata yang tumpah di kota ini. Apalagi mengingat bahwa ada juga orang-orang yang hanya menangis dalam hati sambil memandangi jendela kantornya. Jendela apartemennya. Jendela rumahnya. Jendela mobil orang lain. Atau jendela taksi.

hanny

41 Responses

  1. mbak hanny, *hugs* kita berbagi peluk yah malam ini.. semoga pekat malam ini sebagai intro untuk besok yang cerah..

    ๐Ÿ™‚

  2. Konsekwensi logis perkembangan jaman dan pertumbuhsn ekonomi, ketika kita berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh apa yang kita idamkan.

    Tapi semua itukah yang kita inginkan?

  3. heheh

    Jakarta.. kota yg dicintai namun dibenci..

    dan saya ndak pernah merasa cinta dengan Jakarta.. ๐Ÿ˜€

    andai nasib tak membawaku ke sini.. ๐Ÿ˜€

  4. Potret yang bagus… Kena semua. Soal salah siapa? Mungkin termasuk kita juga. Saat ini bicara benar, bukan berarti esok hari bertindak benar ๐Ÿ™‚ Salam kenal ya…

  5. Sebidji kota yang didjoeloeki megapolitan seperti Batavia kadang memang menjimpan demamnja sendiri. Kota jang mana daripada Batavia ini adalah kota jang tjapek, jenoeh dan bosan dengan dirinja sendiri. Sampai kapan kota ini mampoe menahan beban jang dipikoelnja? Kita semoea tak tahoe, jang jelas kian banjak persoalan jang boetoeh diselesaiken dan djangan hanja djadi kota sebagai fabrieek kemiskinan, kedjahatan dan penjakit.
    Soenggoeh soeatu toelisan dengan renoengan jang dalam.
    Salam dari Blog Tjatetan Kaki ๐Ÿ™‚

  6. Elo emang jagonya ngeliat dunia di sekeliling elo. Even hal2 kecil yg orang lain gak ngeh. Keep your eyes open…. dan tetap berbagi cerita ๐Ÿ™‚

    Salam.

  7. Aku juga selalu memandang nomor hp di dinding itu, bertaruh itu benar atau hanya canda. Sesekali tergoda ingin menelepon, hanya memastikan taruhanku sendiri. ๐Ÿ™‚

  8. *ehem* telat nimbrung nih… :p

    bikin kumcer aja mbak, Cerita Dari Balik Jendela. ๐Ÿ˜‰

    nanti gw bantuin deh, kritiknya… teuteup….. ๐Ÿ˜€

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because itโ€™s fun. Because it brings you joy; because itโ€™s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekendโ€”I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting lifeโ€”one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP