Demikianlah, rama-rama bersayap retak menjelang beruda, seperti telah kau rinaikan dalam untaian aksaramu, harapan mungkin memang durkarsa—pun dursila. Tak sudi kiranya ia mencumbui bahagia terlalu lama. Kala senja menebar di angkasa, yang tertinggal dari tawa sehari kita di muara hanyalah luka, air mata, dan sekeping hati yang kian rengsa untuk mencinta.

Terkadang saya bertanya-tanya, entah sudah berapa banyak perempuan yang kau ajak memandangi beraja malam-malam dalam diam. Perempuan-perempuan itu bersesakan di bawah sayapmu yang tak seberapa lebarnya, berupaya menjadi yang teristimewa secara berandang dalam jarak pandangmu.

Hingga kau lupa kapan matahari terbit dan terbenam, juga lalai ketika hujan menitipkan embun pada dedaunan. Kau biarkan sayapmu terbahak kala ditemukan dan menangis kala ditinggalkan pada interval yang terlalu berdekatan, sehingga retaklah ia pelan-pelan, tak sanggup bertahan pada dua ekstrim yang dieksploitasi secara berlebihan.

rama-rama bersayap retak
rama-rama bersayap retak
Gambar dipinjam dari sini.

Jadi, begitulah, pada suatu fajar ketika tetes gerimis meletis rasa yang tengah kita benahi berdua, saya tersadar: bahwa sayapmu yang retak itu tak kuasa menampung rebas-rebas yang lantas menderas ataupun panas yang menyenggau dari atas. Sayapmu itu bukanlah serupa payung; yang di bawah lengkungannya saya akan merasa sedemikian beruntung karena menemukan tempat bernaung.

Tetapi tak mengapa. Karena saya sudah cukup menikmati saat-saat di mana kita berjalan bergandengan tangan pelan-pelan, di bawah guyuran lampu-lampu jalan pada trotoar yang sesak dengan polusi dan seringkali membuat saya merasa sangsi, ke mana sebenarnya setapak ini akan berujung suatu hari nanti.

Namun, sudah. Biarlah. Karena saat ini, saya memang tidak sedang membutuhkan tempat berteduh, rama-rama. Jadi, jika sayapmu itu tak lagi derana, biarkan saja saya terpapar pada beringsang atau cahang; sembari mendaras bagaimana kiranya saya bisa menyulam retakan-retakan di permukaannya.

Sementara itu, janganlah sia-siakan sedikit waktu yang kita punya, rama-rama. Mendekatlah kemari, pada seberkas cinta yang meruap dari sela-sela semburat asa. Dan untuk saat ini, biarkan saya saja yang menjagamu dari segala prahara…

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Ah. Saya suka, karena denganmu, saya tak berlama-lama menyimpan kata seandainya.

Karena kamu, kamu merupa gula-gula jeli berbentuk lucu berwarna-warni yang selalu menyenangkan untuk dipandangi itu. Yang manis menyegarkan dan bisa membuat sakit gigi jika berlebihan dikonsumsi, tetapi tetap saja menggoda untuk dibeli, karena warna-warni cerahnya selalu berhasil membuat ceria hari-hari. Bahkan seorang teman saya tahu hal ini, karena ia pernah menghadiahi saya satu kantung plastik gula-gula jeli berwarna-warni, hanya untuk membuat saya tersenyum-senyum sendiri sepanjang hari.

Gambar dipinjam dari sini.

Jadi jangan tanya mengapa kamu bisa membuat saya tertawa. Atau menangis. Atau tertawa sampai menangis, bahkan menangis untuk kemudian disela tawa terbahak hanya karena mengingat momen menyenangkan bersamamu. Jangan tanya juga mengapa kamu–ya, hanya kamu, yang bisa membangunkan saya dari tidur lelap di malam hari, hanya untuk merasa bahagia mendengarkan suaramu yang tertawa, untuk kemudian bisa tertidur lagi; bahkan lebih lelap dari sebelumnya…

Meskipun saya masih tetap saja tak bisa menjawab setiap kali kamu bertanya ‘mengapa’, tetapi saya bahagia. Tidakkah yang sedemikian itu sudah cukup menenangkan untuk kamu ketahui, sebagaimana sudah cukup menyenangkan bagi saya hanya untuk melihatmu melintas sendiri pada suatu paruh malam; berjalan sambil tersenyum lebar, menghampiri tempat di mana saya berpijak, untuk kemudian bertanya, akan ke mana kita dari sini?

Iya. Kamu.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Pak,

Maaf karena malam ini saya tak mengajak Bapak berbasa-basi, tetapi hanya menggumamkan selamat malam dan langsung meminta diantarkan ke UKI Cawang. Maaf juga karena saya langsung membuang pandangan ke luar jendela dan memasang earphone—sebagai isyarat agar tidak diganggu; kemudian memilih untuk melarut bisu diiringi denting-denting piano melankolis dari album The Yellow Room-nya Yiruma.

Ah, jendela ini, Pak. Rasanya seperti sudah lama sekali saya tidak berakrab-akrab dengan jendela di sisi kiri ini; dan sedikit banyak kini rasanya seperti sebuah reuni yang tertunda. Jadi, biarkanlah saya menjadi autis di sini, ya, Pak. Saya hanya ingin diam selama beberapa puluh menit ke depan dan melihat adegan macam apa yang akan ditawarkan jendela malam ini.

Oh, lampu-lampu itu. Iya, oranye, kuning, merah, biru—memancar dari gedung-gedung tinggi di kawasan segitiga ini. Tahukah Bapak, bahwa ada orang yang suka memandangi lampu-lampu ini dari jendela kantornya?

Ah, tapi coba lihat pohon-pohon di sepanjang jalan ini. Setiap helai daunnya dilapisi entah berapa tahun tumpukan debu dan polusi, diam tak bergerak. Angin tak bertiup malam ini, dan bintang seperti tiba-tiba hilang. Sebuah kantong plastik putih tertiup angin dan tercemplung ke dalam selokan. Orang-orang lalu-lalang mengejar bis yang tidak mau berhenti. Sirene dan lampu biru itu menandakan ada pejabat yang akan lewat, ya, Pak? Dan kita terpaksa berhenti dulu di sini.

Coba lihat tembok Semanggi itu, Pak. Ada tulisan-tulisan dengan piloks: nama perempuan, nomor telepon genggam, dan pesan untuk menghubungi. Menurut Bapak ini serius atau bercanda? Dan setujukah Bapak kalau saya katakan pasti pernah ada setidaknya satu orang saja di kota ini yang mencoba menelepon ke nomor yang terpampang besar-besar di tembok pinggir jalan itu? Nah, lalu-lintas sudah bergerak lagi, Pak. Bergerak dalam kecepatan 10 kilometer per jam.

Pengamen menyanyi di atas Kopaja yang penuh sesak dengan wajah-wajah letih dan diuapi kumpulan keringat dalam satu hari. Lampu jalan berwarna oranye terang itu menyebalkan, Pak. Memang biasanya nampak indah, tapi sebenarnya menakutkan. Coba saja Bapak berdiri di bawahnya dan lihat bagaimana kulit Bapak akan nampak sedemikian pucat seperti makhluk yang sekarat.

Yah, motor itu sudah resmi mogok rupanya, Pak. Tidak bisa bergerak kini. Dan lelaki pengemudinya dihujani lengkingan klakson yang membuat kita ingin memaki itu. Lebih banyak motor merangsek ke trotoar dan mengklakson para pejalan kaki. Saya benci bunyi klakson, Pak. Tidakkah Bapak juga membencinya? Pasti Bapak juga sudah jengah mendengarnya setiap hari ketika terperangkap dalam gilanya kemacetan seperti ini.

Pak, Metro Mini itu menabrak taksi. Nah, sekarang pengemudi taksi bertengkar dengan kernet Metro Mini. Kakek tua itu memikul dagangannya yang masih penuh, berjalan kaki di tengah kota yang hiruk-pikuk ini. Menurut Bapak, cukupkah penghasilannya untuk bisa memberi makan keluarganya hari ini? Ada perempuan dengan tank top hitam dan celana jins menyisir rambut di depan sebuah SPBU. Seorang lelaki pincang yang berjalan dengan tongkat melintas di depan billboard besar yang mengiklankan sabun mandi beraroma Sakura Sensation. Seorang ibu menggendong bayinya yang terbungkus kain batik di boncengan motor.

Signboard karaoke dan bar di sebuah bangunan kusam yang remang-remang berkelap-kelip di sebelah reklame sebuah pusat pendidikan Bahasa Inggris. Polisi menghentikan jalur kanan dari arah jembatan. Kita berhenti lagi, Pak. Motor-motor itu terus membunyikan klakson, membuat saya ingin menjerit keras-keras meminta mereka berhenti. Motor-motor baris terdepan berusaha menerobos, namun segera mengerem setelah Pak Polisi mengacungkan tongkatnya yang merah menyala sambil memaki. Yang dijawab lagi dengan klakson dan makian. Semakin keras. Semakin keras. Semakin keras.

Ya, kita sudah bisa jalan lagi, melewati anak-anak jalanan yang tidur-tiduran sambil tertawa ngakak di halte.

Malam ini memang aneh, Pak. Biasanya saya bisa menikmati semuanya. Kemacetan menjadi semacam keistimewaan untuk mengistirahatkan pikiran atau merencanakan masa depan. Lampu-lampu biasanya membuat mata saya terhibur dan melayangkan ingatan pada video klip dari masa lalu. Apakah semua itu dikarenakan saya memilih untuk melihat apa yang ingin saya lihat, ya, Pak?

Entah mengapa malam ini saya malah melihat Jakarta yang tidak ramah dan tidak pedulian, Pak. Sebuah kota di mana semua orang sibuk berjalan sendiri-sendiri, memendam beban sendiri-sendiri, bersedih sendiri-sendiri… dan sudah berapa juta wajah yang kita lewati malam ini, ya, Pak?

Oh ya, ngomong-ngomong, tahukah Bapak kira-kira berapa liter air mata yang tumpah di kota ini setiap harinya?

Ah, sudahlah, Pak. Jangan dipikirkan pertanyaan aneh dan tak penting itu. Saya memang sedang ngawur. Pasti sulit sekali untuk mengukur berapa liter air mata yang tumpah di kota ini. Apalagi mengingat bahwa ada juga orang-orang yang hanya menangis dalam hati sambil memandangi jendela kantornya. Jendela apartemennya. Jendela rumahnya. Jendela mobil orang lain. Atau jendela taksi.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Meskipun 2008 belum lagi berakhir, saya berani mengatakan bahwa Wall·E adalah film animasi terbaik tahun ini. Ya, film produksi Disney Pixar yang diarahkan dan ditulis skenarionya oleh Andrew Stanton ini memang film yang sepi dengan kata-kata, namun sarat makna.

Gambar dipinjam dari sini.

Untuk anak-anak kecil yang menontonnya, Wall·E mungkin tak lebih dari sebuah film animasi biasa yang mengisahkan sebuah robot tua bernama Wall·E dan penjelajahannya ke ruang angkasa untuk membantu robot canggih EVE. Tetapi untuk saya, Wall·E meninggalkan kesan yang berbeda. Wall·E is definitely a love story. A very good one, malah!

***

(spoiler warning)

Alkisah, Wall·E adalah sebuah robot tua pemroses sampah yang tertinggal di bumi dan lupa dimatikan, ketika manusia beramai-ramai meninggalkan bumi yang rusak untuk menetap di luar angkasa.

Gambar dipinjam dari sini.

Maka, selama 700 tahun, Wall·E tetap tinggal di bumi dan menjalankan tugasnya memroses sampah seperti biasa, dari hari ke hari, sendirian–hanya ditemani seekor kecoak dan film musikal lama tahun 1969, Hello, Dolly!.

Suatu hari, Wall·E menemukan sebuah tanaman kecil di tengah tumpukan sampah. Ia pun dengan hati-hati menciduk tanaman itu dan menyimpannya, kemudian menjalankan tugasnya seperti biasa. Sampai suatu hari, sebuah pesawat luar angkasa mendarat di bumi dan menurunkan sebuah robot putih yang canggih.

Wall·E terpesona melihat robot putih ini terbang di angkasa, meluncur dan berputar-putar gembira, sekaligus takut melihat bagaimana robot itu menembak dan meledakkan benda-benda yang dianggapnya mengganggu atau mencurigakan. Suatu waktu, robot putih itu bahkan menembak kecoak Wall·E, namun si kecoak berhasil lolos. Ketika melihat bahwa si kecoak tak berbahaya, robot putih itu malah memungut si kecoak dan membiarkan binatang itu berlarian di lengannya.

Gambar dipinjam dari sini.

Di sinilah untuk yang pertama kalinya robot putih itu bertemu dengan Wall·E–yang juga hampir ditembaknya, namun urung ketika ia mendeteksi bahwa Wall·E tak berbahaya. Sejak saat itu, Wall·E mengikuti si robot putih kemana-mana.

Suatu hari, si robot putih yang sedang berkeliling memeriksa bumi terperangkap magnet besar di galangan kapal tua. Si robot putih pun melepaskan diri dengan melancarkan tembakan yang meledakkan kapal-kapal yang berjajar satu demi satu.

Ketika si robot putih ini berdiri memandangi api yang menyala-nyala di hadapannya; Wall·E diam-diam mendekatinya dari samping pelan-pelan, berusaha menggenggam tangan si robot putih, namun gagal–karena si robot putih sudah siap menembak.

Dilatari langit yang menyala dalam api jingga berpendar, inilah awal perkenalan robot putih yang bernama EVE itu dengan Wall·E. EVE yang awalnya garang itu bahkan sempat terkikik geli ketika mendengar Wall·E kesulitan menyebutkan namanya.

Hanya beberapa saat setelah perkenalan itu, badai debu besar melanda. Dan Wall·E pun menyelamatkan EVE dan membawa robot putih itu ke “rumahnya”; yang dipenuhi dengan lampu-lampu berwarna-warni. Dalam usahanya menarik perhatian (dan menggenggam tangan EVE), Wall·E juga menunjukkan benda-benda berharga yang dimilikinya pada EVE, bahkan mengajak EVE menonton Hello, Dolly!.

Gambar dipinjam dari sini.

Usaha terakhir Wall·E adalah dengan menunjukkan tanaman yang sempat ditemukannya di tumpukan sampah kepada EVE. Namun begitu Wall·E menunjukkan tanaman itu, EVE tiba-tiba mengambil tanaman tadi dan memasukkannya ke dalam tubuhnya, sebelum ‘mematikan’ diri.

Dari sini, dimulailah serangkaian episode yang menyentuh, lucu, sekaligus mengharukan, mengenai bagaimana Wall·E berupaya ‘membangunkan’ EVE, dan menghabiskan hari-harinya berdua saja dengan EVE yang kini membisu dan hanya mengambang saja di udara…

Perihal bagaimana jalan cerita selanjutnya dan akhir dari film animasi yang luar biasa ini, silakan Anda menonton film ini sendiri, karena film ini sangat layak ditonton 🙂 atau jika tetap masih ingin tahu juga tanpa menonton filmnya, silakan baca sinopsis lengkapnya di sini.

***

Menonton Wall·E adalah mencoba memahami sosok robot tua yang kesepian, yang tenggelam menjalankan hari-harinya dengan melakukan apa yang menjadi tugasnya, tanpa punya tujuan yang jelas. Ia larut dalam rutinitasnya, namun sesungguhnya masih menyimpan mimpi akan romantisme; karena setiap malam ia menonton tayangan film musikal tahun 1969, Hello Dolly!.

EVE, di sisi lain, adalah sosok sophisticated dengan kepribadian kompleks dan sukar dipahami. Ia berusaha tampil sebagai sosok yang tangguh, tak mudah untuk didekati, namun ternyata sangat menyenangkan begitu Wall·E sudah lebih mengenalnya. EVE adalah sosok yang fokus dan punya satu tujuan jelas dalam hidupnya: untuk memenuhi tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Tetapi ketika Wall·E dan EVE bertemu, segalanya berubah.

Tiba-tiba saja, Wall·E yang biasa terjebak dalam rutinitas merasa bahwa kini ia punya tujuan lain yang bisa memberikan makna dalam hidupnya: untuk menggenggam tangan EVE. Sementara EVE yang begitu fokus dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, memahami bahwa bayangan akan kehilangan Wall·E ternyata lebih menyedihkan daripada kegagalannya memenuhi kewajiban.

Jika EVE menghadiahi Wall·E sebuah tujuan, maka hadiah Wall·E untuk EVE adalah: sebuah pilihan. Jika EVE memberikan Wall·E sebuah tujuan hidup, maka Wall·E memberikan EVE pilihan untuk menjalani hidup.

Seperti saya, tentunya Anda juga bebas menafsirkan, apa yang kemudian mengada di antara genggaman tangan Wall·E dan EVE. Cinta? Harapan? Persahabatan? Awal? Akhir? Hmm, semua itu memang tergantung pada bagaimana Anda memaknainya.

Gambar dipinjam dari sini.

Untuk saya, saya lebih suka menafsirkannya sebagai rasa. Ya, rasa. As simple as that. Rasa macam apa? Saya juga tak bisa menjelaskan. Mungkin semacam rasa yang bisa menghadirkan kembali denting-denting terakhir dari At Last-nya Etta James. Sejenis rasa yang kehangatannya tetap tinggal, bahkan lama setelah genggaman itu dilepaskan.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Awalnya, saya pikir para lelaki akan merasa enggan terlihat berada di Sour Sally.

Ya, gerai yoghurt yang terletak di lower ground Senayan City ini memang nampak begitu girly dengan padanan warna hijau terang, pink, dan putih, serta kaki kursi belang-belang hitam-putih seperti zebra. Tetapi tak diduga, kemarin siang, saya melihat beberapa lelaki justru asyik duduk mengetik menghadapi komputer portabel yang menyala di salah satu sudut gerainya.

(Hmm, mungkinkah Sour Sally memberikan ilusi tersendiri, seakan para lelaki tengah berada di dalam kamar kekasih?)

Terus terang, ketertarikan saya pada Sour Sally memang bermula dari desain interior-nya yang seperti kamar gadis remaja itu—baru kemudian saya melirik posternya untuk mencari tahu menjual apa si Sour Sally ini sebenarnya.

Yang dijual di Sour Sally adalah frozen yoghurt (bukan yoghurt cair). Dan, hanya ada dua jenis yoghurt di sini, yakni plain dan green tea (menurut saya dua-duanya enak, lebih enak kalau dicampur). Meski hanya ada dua jenis yoghurt, tetapi topping yang ditawarkan Sour Sally beraneka ragam, mulai dari berbagai potongan buah segar sampai permen kecil-kecil berwarna-warni.

Soal rasa?

Sejauh ini, kawanan penggemar yoghurt di sekitar saya mengaku puas dengan kadar keasaman Sour Sally, dan saya sendiri tidak bisa mengeluh untuk masalah yang satu itu: E.N.A.K!!! Hanya saja, soal harga memang agak mendesak-desak di kantung, karena satu cup kecilnya berharga 17.5 ribu dan yang medium sekitar 27 ribu-an… (Jangan sering-sering 😀 hehehe)

Atau, mungkin inilah saatnya untuk berbagi, kawan-kawan! Belilah satu cup kecil Sour Sally untuk dinikmati berdua dengan orang yang Anda sayangi 😉 Lalu mengernyitlah bersama-sama akibat sengatan rasa asam dan dinginnya…!

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Update (13/08/08): Hanny [suka] karena sudah bisa nge-plurk lagi hari ini. (s_dance)

Hanny [benci] karena plurk tidak bisa diakses hari ini.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

“Bukan berbohong, hanya tidak mengatakan yang sebenarnya,” kata teman saya.

Yah, menurut saya tidak mengatakan yang sebenarnya itu sama saja dengan berbohong. (Biarlah untuk sementara kata ‘berbohong’ digeneralisasi). Jadi, mengapa, meski kita tahu bahwa berkata jujur itu baik, setiap hari kita (masih saja memilih) untuk berbohong?

Berkata ya padahal tidak. Berkata baik-baik saja padahal tidak. Berkata setuju padahal tidak. Berkata bagus padahal tidak. Berkata suka padahal tidak.

Ya, mengapa kita (memilih) untuk berbohong?

Menurut kawan-kawan saya, ada beberapa alasan. Karena tidak mau menyakiti perasaan orang lain. Karena terpaksa. Karena tidak mau menyusahkan orang lain. Karena ingin membahagiakan orang lain. Karena itu pilihan yang terbaik. Karena dengan berbohong masalahnya akan lebih cepat selesai. Karena kejujuran itu akan membuat segalanya berantakan dan hanya memperumit keadaan. Dan masih banyak segala macam ‘karena’ lainnya yang tak ada habis-habisnya.

“Kadang cinta adalah embun,” katamu. “Ia bisa hinggap di rumput, daun dan mengembuskan kesejukan. Tetapi selepas pagi, ia mengering–lalu lenyap.” (Empat Sajak untuk K.H oleh Wendoko, 100 Puisi Terbaik Indonesia 2008, Anugerah Sastra Pena Kencana)

Tetapi saya pikir, kita terkadang atau seringkali (memilih) untuk berbohong karena kita sebenarnya sungguh-sungguh ingin mempercayai kebohongan itu. Karena kebohongan itu terdengar menyenangkan dan bisa membuat bibir menyunggingkan senyuman. (Dan entah siapa itu yang berkata bahwa kebohongan yang diucapkan berulang-ulang akan menjadi kenyataan)

Lalu, bagaimana dengan Anda? Mengapa Anda (memilih) untuk berbohong?

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Setiap orang punya cara sendiri-sendiri untuk menebus hari yang berat dengan menikmati secercah kelegaan di penghujung hari.

Ada yang memilih untuk menenangkan hati dengan bantuan sepotong ‘kue keju beri biru’; pergi berbelanja seraya mengepas baju dan sepatu; berjalan kaki malam-malam sambil memandangi bintang–atau paling tidak, lampu-lampu kota yang berbinar; berpegangan tangan dengan pasangan yang bermata elok; dan ada juga yang sudah merasa cukup dengan sekadar pergi ke klub di kawasan Kemang untuk menghirup Cosmopolitan dan asap rokok hingga dini hari.

Untuk saya, secercah kelegaan di penghujung hari itu adalah pulang ke rumah, mandi dengan sabun hingga wangi, mengenakan piyama lama yang sudah belel, lalu merangsek ke atas tempat tidur ditemani sebuah buku.

Ya, buku. Tak harus baru, lama tak mengapa, karena saya suka nostalgia.

Namun jika hati tengah terlalu letih, saya akan menyempatkan diri untuk lari ke toko buku terdekat dan membiarkan diri merasa nyaman berada di tengah ruangan dengan rak-rak kayu yang tinggi dan lampu yang benderang, tak bosan-bosan menikmati jajaran buku-buku yang rapi dan masih tersampul plastik kedap udara itu, memilih beberapa buku yang saya suka, membawanya ke kasir, memeluk kantung plastik dan buku-buku di dalamnya di dada, dan… merasa bahagia.

Sederhana.

Dengan kebiasaan seperti ini, tak heran memang, jika setiap beberapa tahun sekali lemari buku dalam kamar tidur saya berganti; hanya karena tak muat lagi. Semua buku yang pernah saya baca ada di sana; dalam lemari kayu berpintu kaca geser itu. Mulai dari buku yang saya miliki sejak berusia 3 tahun, hingga buku kumpulan puisi yang baru saya beli Senin lalu.

Memang, ada beberapa buku yang saya baca berulang-ulang, sampai halaman-halamannya rasanya bertambah tipis saja. Termasuk di sini adalah novel-novel Banana Yoshimoto (terutama Kitchen), Haruki Murakami, juga Orang-Orang Bloomington-nya Budi Darma dan Interpreter of Maladies-nya Jhumpa Lahiri.

Tetapi ada juga buku-buku yang tak pernah saya baca lagi setelah dibaca sekali–yang bertumpuk menjejali lemari buku saya dari tahun ke tahun. Mungkin akan saya pisahkan buku-buku itu, mengepaknya di dalam sebuah kardus, lalu… akan saya bawa ke depan pelataran Plaza Indonesia pada suatu Jumat malam, untuk dikontribusikan ke Gerakan 1.000 Buku-nya Komunitas Blogger BHI dan Cah Andong; gerakan yang bertujuan untuk mengumpulkan buku-buku bacaan bagi mereka yang membutuhkan.

Mau ikut bergabung dan ingin tahu lebih banyak tentang Gerakan 1.000 Buku ini? Anda bisa langsung menghubungi para blogger yang berinisiatif sosial ini lewat:

  • Hadik aka Pitik
    YM = kukuruyuk01
    email : hadik1 at gmail
  • Much. Syaifullah aka Ipoul Bangsari
    YM = ipoul_bangsari
    email : much syaefullah at gmail
  • Bambang
    YM = mrbambang
    email : mr bambang at gmail
  • Antobilang
    YM = antobilang
    email = antobilang at gmail

Anda juga bisa mengunduh banner seperti di bawah untuk mendukung gerakan ini lewat blog-nya Chika di sini atau blog Mbak Silly di sini.

Jadi, ayo, kumpulkan buku-buku, dan bukakan jendela untuk mereka-mereka yang ingin melihat dunia lewat halaman-halaman itu!

——

Gambar buku dipinjam dari sini.
hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Benar kata Gage (lelaki yang ‘katanya’ meletup-letup itu, hihihi): “Dunia itu besar, persahabatan yang membuatnya kecil“.

Dan di dunia blog, mungkin begini tepatnya: “Dunia itu besar, blog yang membuatnya kecil”.

Karena setelah luntang-lantung tak tentu arah mencari keberadaan novel Olenka-nya Budi Darma, ternyata kok ya melalui blog-lah akhirnya saya bisa mendapatkannya 🙂

Iya, hari Selasa kemarin saya sempat ketemu dengan Eva blogger asal Palu yang sedang main ke Jakarta dan kawannya, Heri. Mereka tergabung dalam rombongan beranggotakan sebelas orang yang hendak hiking ke Gunung Gede, Bogor.

Selasa malam itu, mereka baru kembali dengan kaki dan badan pegal-pegal.

“Heran, ya. Buat apa orang naik gunung terus pas sudah sampai puncak turun lagi. Kaki pegal-pegal pula,” seloroh Eva ketika kami nongkrong-nongkrong di Starbucks dekat Djakarta Theatre malam itu.

Seraya nongkrong-nongkrong itulah dengan baik hatinya Eva membawakan saya novel Olenka! Yang langsung saya sambut mesra (dan sudah selesai saya baca dalam satu hari saja). Wah, ini benar-benar kejutan! Sudah entah dari tahun kapan saya mencari-cari Olenka dan belum pernah berhasil mendapatkannya… eh, hari ini kok didapatkan jauh-jauh dari Palu 🙂

“Di Palu sering mati lampu, jadi agak susah nge-blog,” kata Eva lagi, waktu kami ngobrol-ngobrol soal blogging.

Pada kesempatan ngopi-ngopi itu, saya juga sempat menunjukkan seperti apa sih SMS blog-nya Ndoro Kakung, yang bisa daftar itu, dan pesannya langsung dikirim dari handphone Ndoro 😀

“Wah, sudah kayak seleb, ya!” kata Heri sambil tertawa.

Malam itu kami berpisah sekitar pukul delapan, setelah puas tertawa-tawa, karena Eva dan Heri kabarnya hendak menuntaskan photo session mereka di kawasan Kota Tua. (Saya tunggu foto-fotonya, lho!)

Evaaa, terima kasih Olenka-nya! 🙂 Ah, kalian!!!

PS: Ayo, coba tebak. Yang mana Eva dan yang mana Heri. Hehehe.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP