Judul di atas saya pinjam tanpa ijin dari salah satu postingan blog-nya Edo. Penulis berbakat dan seorang kawan yang selalu bisa membuat saya jatuh hati pada karya-karyanya yang urban dan manly itu–baik yang abstrak, realis, maupun yang digoreskan sebagai hadiah ulang tahun 🙂 Tak heran kalau tulisan-tulisannya itu, yang tak pernah gagal menyihir saya dalam lamunan, sudah dimuat di berbagai majalah, mulai dari A+ sampai Esquire.

Dalam postingan di blog-nya itu, Edo menulis:

Saya tahu rasanya sangat menyenangkan sekali kalau tiap pagi terbangun ada seseorang yang memberikan sensasi pada Anda di samping. Karena hari baru adalah cara yang baru lagi untuk mencintai. Dan ya, itu sangat indah. Membuat lekuk kurva di bibir saya sepanjang hari . Mudahkan lewati hari-hari berat.

Saya tahu itu semua sangat menyenangkan ketimbang bangun di pagi hari dan Anda berkata, “Who is she? What is she doing here?” Bercinta dengan orang berbeda setiap malam tentu saja melelahkan. Oke mungkin bukan orang asing, tapi orang yang tidak Anda harapkan ada di kasur Anda. Dan ya, satu dua kali untuk mengalihkan rasa pahit juga tidak apa, tapi kalau sudah menjadi rutinitas?

Pilih mana? Terbangun setiap hari dengan orang yang sama tapi dengan sensasi yang berbeda. Atau terbangun setiap pagi dengan orang yang berbeda tapi dengan rasa yang sama?”

Edo Wallad

Wah. Sulit, memang.

Tapi jika segala sesuatu berjalan secara ideal, Edo tentu lebih memilih yang pertama. Ya, ia lebih memilih satu perempuan yang bisa terus-menerus meregenerasi rasa baru, memberi rasa yang berbeda setiap hari. “Cause everyday is a new way of loving her,” katanya.

Sayangnya, dunia memang tidak berjalan dalam tatanan yang ideal. Lantas banyak orang memilih untuk menjalani pilihan kedua jika pilihan pertama tak bisa didapatkan. Untuk saya, saya hanya ingin pilihan pertama itu. Seutuhnya atau tidak sama sekali. Saya tak mau setengah-setengah. Jadi, saya akan menunggu saja dengan sabar hingga suatu hari nanti menemukan satu orang itu, yang bisa memberikan semua rasa yang ada. Atau tidak sama sekali.

Saya tak ingin terbangun pada suatu pagi, dan menoleh pada lelaki di sebelah saya, kemudian berpikir, “What the hell is he doing here?”. Seperti Edo, saya juga ingin terbangun pada suatu pagi, menoleh ke arah lelaki yang ada di sebelah saya itu, dan berpikir, “Wow, you are meant to be here. And I want to spend the rest of my life to know how to love you more.” 😉

Saya juga baru sempat membaca cerita Edo yang sempat dimuat di Esquire: Lelaki dengan Ransel, tentang seorang lelaki yang menyimpan keping-keping kehidupannya dalam sebuah ransel. Tanpa disadari, suatu waktu ranselnya terbuka, dan kepingan hidupnya berjatuhan, untuk kemudian dipungut oleh seorang perempuan.

Lalu terciptalah dialog yang membuat saya merinding itu:

Gara-gara cerita ini, saya jadi teringat percakapan via YM! itu:

A: rasanya kalo ada yang bilang I’m over her, I’m in denial. tidak bisa berdamai dengan diri sendiri.

B: sulit ternyata, berdamai dengan diri sendiri itu.

A: yup, that’s the hard thing.

B: butuh waktu kali, ya. tapi apakah waktu itu menjadi semacam alasan…

A: padahal diri sendiri menikmati kesenduan tanpa akhir. hahahah.

B: masokis. romancing the pain. hahahah.

A: I’m enjoying the never-ending rebound. Endless broken-hearted.

B: the pieces of my broken heart look like the most artistic collage in the world. hehehe.

A: rebound! hahaha. I’m enjoying it.

B: nikmatilah. semoga suatu hari kita bisa merasa bosan akan semua itu…

A: yaaaa. I’m tired already.

B: tired of knowing that you can’t get out of it?

A: yeah.

Yah, terkadang mungkin kita terlalu berkonsentrasi pada kepingan kehidupan yang ada di dalam tas kita itu. Padahal sebenarnya, kita juga tak sepenuhnya ingat apa saja yang kita simpan di dalamnya. Dan jika semua kepingan itu hilang pun, sebenarnya tak mengapa.

Karena bukankah selalu ada kepingan lain di depan? 🙂

……………………..

PS: Thanks, Do! Semua ini mencerahkan! See you on the 26th! 😉

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Ulang tahun kedua kawan saya itu ternyata hanya berselang satu hari. Yang satu berulang tahun pada 6 Juli kemarin, dan yang satu lagi berulang tahun tepat hari ini.

Ketika sempat bertukar sapa dengan kawan saya yang berulang tahun pada 6 Juli itu tadi pagi, ia mengaku hanya sempat merayakan ulang tahunnya kemarin dengan bermain biliar. Nothing crazy, kalau meminjam istilahnya.

Ya, karena ia berada di sebuah negara yang ribuan mil jauhnya dari sini, tentu ia tak bisa merayakan ulang tahunnya dengan kumpul-kumpul malam hari di warung tenda (baca: Saras) bersama kawan-kawan dekatnya. Minum kopi susu dan makan roti bakar yang atasnya ditancapi lilin, kemudian tertawa-tawa mengenang ribuan kebodohan dan cerita konyol semasa sekolah dulu, merayapi tengah malam dengan keriaan yang begitu familiar.

Teman saya itu juga menandai hari ulang tahunnya dengan sebuah keputusan besar. Ia memutuskan untuk meninggalkan kehidupannya saat ini: kotanya, pekerjaannya, apartemennya, kawan-kawannya, untuk pindah ke kota lain. Ia belum tahu persis dari mana harus memulai, apa yang menunggunya, bahkan di mana ia akan memulai hidup barunya. Mungkin Chicago. Atau Seattle, katanya.

Saya sarankan ia untuk pergi ke Chicago, karena Seattle terdengar terlalu muram, ungu, dan abu-abu untuknya. Tetapi, tentu, pada akhirnya langkah kaki teman saya itulah yang menentukan.

Sementara itu, teman saya yang satu lagi, yang berulang tahun hari ini, nampaknya sudah menerima banyak kejutan dan hadiah dari sana-sini, bahkan pagi-pagi sekali. Saya tak tahu apakah ia punya rencana khusus untuk merayakan ulang tahunnya hari ini. Tetapi tentu saja, saya ikut berbahagia untuk kedua kawan saya itu, yang ulang tahunnya hanya berselang satu hari.

Oh, ya, jika kita bicara soal kebahagiaan, tahukah kalian bahwa kebahagiaan itu ada dua jenis? Ada yang namanya kebahagiaan satu lapis, dan ada juga yang disebut kebahagiaan dua lapis. Kok terdengar seperti kue? Ya, terkadang kue yang enak juga bisa membuat kita bahagia, kok 🙂 Bukan begitu?

Jadi… mari kita bicara tentang kebahagiaan dengan analogi kue. Kue satu lapis, dan kue dua lapis.

Kue satu lapis itu utuh, padat, solid. Tidak mungkin lapisannya tercerai-berai atau selip kesana kemari ketika dipotong dengan pisau. Karena bukankah memang hanya ada satu lapis? Sebaliknya, kue dua lapis, jika gula, krim, atau selai yang menjadi perekatnya tak cukup kuat, maka akan tercerai-berai saat dipotong. Lapisan atas terpisah dengan lapisan bawah. Rupanya pun jadi tak secantik semula.

Kue dua lapis itu mengenyangkan. Bayangkan, ada dua lapis! Kau bisa kekenyangan jika melahapnya sekaligus. Lalu mual. Biasanya, kemudian kau pilih satu lapis yang paling kau sukai. Misalnya, pada lapis Soerabaia, yang terdiri dari lapis cokelat dan lapis kuning. Anak kecil biasanya memilih lapisan yang ia suka jika sudah kekenyangan. Lapisan cokelat saja. Atau lapisan kuning saja. Tapi, kue satu lapis harus kau lahap seluruhnya. Tak ada pilihan setengah-setengah. Jika suka kau habiskan, jika tidak kau biarkan saja tergeletak di atas meja hingga orang lain melahapnya.

Kebahagiaan satu lapis itu kebahagiaan yang utuh. Ketika kita tidak bisa lagi membedakan dan memilah-milah alasan mengapa kita merasa bahagia. Kebahagiaan satu lapis itu meliputi semuanya: air mata dan tawa, teriakan marah dan muntahan kenangan manis–satu paket yang bisa membuat kita bahagia, dan harus kita terima semuanya. Kebahagiaan satu lapis ini berbahagia hanya karena. Just because.

Kebahagiaan dua lapis itu kebahagiaan yang bisa kau pilah-pilah. Yang masih bisa kau jawab ketika ditanya mengapa hari ini kau berbahagia. Kebahagiaan yang masih bisa terkikis bila masa lalu merayap dari tulang belakang dan masa depan tiba-tiba saja menghadang. Kau bisa mengambil senang-senang dan tawa saja, lalu memutuskan pura-pura tak melihat air mata. Yang penting kau bahagia.

Dan saya… saya masih berusaha mencari cara agar bisa mendapatkan kebahagiaan satu lapis itu lagi.

——-

Gambar dipinjam dari sini dan dari sini.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Baiklah.

Begini, jika kita menonton film-film di televisi–dan ada adegan di mana sahabat tokoh utama tengah mengalami kesulitan, biasanya si tokoh utama (yang serba sibuk dan punya seribu satu urusan penting) akan meninggalkan semua urusan pentingnya itu. Dia akan langsung menyetir gila-gilaan ke rumah sahabatnya, untuk menghibur dan berada di samping sahabatnya itu, selama yang diperlukan. Dulu, saya sering bercita-cita menjadi tokoh utama seperti ini.

Dalam kehidupan nyata, terutama menjelang dewasa, apakah hal seperti itu juga terjadi? Ataukah, dalam dunia tempat kita berpijak ini, urusan-urusan lain selalu lebih penting? Bukan karena persahabatan tidak penting, tentunya. Tetapi bagaimana dengan profesionalisme dan komitmen? Bagaimana dengan janji-janji yang sudah dibuat terlebih dahulu dan harus ditepati? Bukankah semua itu juga penting?

Seorang teman pernah berkata pada saya di tengah kemacetan lalu-lintas yang menggila, lantang: “Kamu tahu, menurut saya masalah terbesar di negeri ini adalah keegoisan manusia. Ya, manusia itu egois. Menganggap bahwa dirinya yang paling penting. Urusannya yang paling penting. Dia lebih penting dibandingkan orang lain, dengan demikian urusannya harus didahulukan. Bahkan manusia menganggap dirinya lebih penting dari hewan-hewan. Padahal apa jadinya kita dan keseimbangan alam ini tanpa mereka.”

Beberapa tahun lalu, seorang teman yang kesal dengan keluh-kesah sahabatnya yang terus-menerus juga sempat berujar, “Sudah, deh. Bukan cuma kamu satu-satunya orang yang menderita di dunia ini. Kamu pikir masalah kamu yang paling berat? Kamu itu egois!” (yang membuat saya berpikir, bahwa mungkin semua orang memang punya sedikit sifat kejam dalam dirinya).

Jika ada sederet urusan penting lain yang harus didahulukan, lantas… apakah persahabatan bisa menunggu?

Entahlah.

Menurut saya persahabatan itu sama seperti cinta. Ketika terlalu banyak atau terlalu sedikit bisa tergelincir dengan mudahnya menjadi benci. Garis tipis yang membatasinya tidak kelihatan, dan keadaan setimbang hanya bisa dijajaki dengan sangat hati-hati. Itu pun tidak sepenuhnya aman. Karena resiko jatuh selalu ada, dan di bawah sana tak ada jaring pengaman.

Maka, hari ini, saya pun menjura pada film remaja itu–yang menjadi kiblat gaya berseragam berbusana anak-anak SMU; yang berhasil memopulerkan gaya bicara baru yang ditiru sejuta umat; yang juga menjadikan anak-anak muda berbondong-bondong mampir di rak sastra yang sudah tertutup jaring laba-laba di toko-toko buku…

Ya, hari ini, saya harus mengakui bahwa film itu, AADC (alias Ada Apa Dengan Cinta? ) berhasil menghadirkan realita tokoh utama yang sangat bersifat manusia. Karena meski analoginya tak seratus persen sempurna, tapi hari ini saya merasa sebrengsek Cinta yang mengabaikan telepon dari Alya demi jalan bersama Rangga.

………………………………..

Gambar diambil dari sini.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Ya, memang tidak salah jika saya katakan bahwa bulan ini adalah ‘musim kawin’. Bagaimana tidak, hampir setiap akhir minggu selalu saja ada undangan pernikahan dari kawan-kawan. Bahkan karena seringnya mengatakan: Weekend-ini-mau-ke-undangan. Ada-kawinan, seorang teman mengejek mengatakan bahwa datang ke kawinan adalah side job saya.

Sabtu ini, dua orang kawan saya juga melepas masa lajang. Selasa kemarin, seorang sahabat mengumumkan bahwa ia akan segera menikah. Saya tak tahu apakah ini ada hubungannya dengan euforia dari film Sex & The City, sehingga tiba-tiba saja semua orang memutuskan untuk menikah.

Hari ini pun, percakapan mengenai pernikahan berlangsung di sofa ruang tengah dan juga di pojokan bawah tangga–di sela-sela santapan sore berupa gorengan (tahu dan cakue) juga semangkok besar es cendol 😀 Beberapa petikan percakapan lepasnya, yang sama sekali tidak berhubungan satu sama lain, kira-kira seperti ini:

Satu,

X: Gue pengen kawin sama cowok bule, terus pergi dari Indonesia, tinggal di Paris… tapi gue sayang sama pacar gue yang orang Indonesia. Gimana, dong? Masa kampung halaman gue jadi di Bandung?

Y: Lah, Bandung juga Paris, kan? Paris van Java…

X: *mutung*

Dua,

A: Cinta itu kan butuh pengorbanan…

B: Tapi kenapa selalu GUE yang harus berkorban?

Tiga,

A: Yah, kalo lo kawin, siapa lagi dong saingan gua menggaet cowok?

B: Lah, dia (menunjuk ke arah saya seseorang) belum punya cowok, tuh.

A: Yah, dia (menunjuk ke arah saya seseorang) sih hidupnya lurus-lurus aja. Nggak bisa dijadiin saingan. Hihihi.

B: Nah, mending cariin dia (menunjuk ke arah saya seseorang) cowok aja.

Empat,

A: Umur lo berapa, sih? Masih 25, kan? Masih ada sih, 2-3 tahun lagi. Tapi gue punya temen cowok, wangi banget orangnya. Gue suka cowok wangi! Baik lagi. Ntar gue kenalin, ya!

Lima,

B: Lo mendingan cari cowok yang udah mapan, deh. Udah cukup lo kerja capek-capek. Setidaknya dia bisa support lo dan anak-anak kalian nanti…

*catatan: ternyata tidak belum ada kata CINTA dalam kalimat di atas 😀

Enam,

Sebuah lagu terdengar samar-samar di latar belakang. Just the two of us. We can make it if we try…

C: Oh, my favorite song… we can make it if we try…

D: Yes, but we can’t make it if I am the only one who tries! *mutung*

Ah. Hari yang aneh. Dan posting ini pun akan saya tutup dengan sebuah kutipan dari buku kecil seorang kawan:

“If a man could be crossed with a cat, it would improve man but it would deteriorate the cat.”

-Mark Twain-

Sambil menyantap sebutir jeruk, saya pun berharap agar musim kawin ini segera berlalu…

……………

Gambar dipinjam dari sini.
hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Oh, belum. Saya masih belum punya BlackBerry *sambil melirik nona itu dengan agak sirik* hehehe.

Tapi pagi ini, kantor saya mendapat kiriman beberapa seri nomor cantik dari GSM yang kabarnya baik itu. Ah, kejutan yang menyenangkan untuk mengawali hari!

Maka saya pun langsung memilih nomor favorit saya, memotret-motret sebentar (oh, ya, Nokia N73 saya sudah kembali normal setelah dimati-hidupkan selama lebih dari seminggu), lalu mengaktifkan si kartu, mengatur setting handphone, dan… ya, akhirnya! Saya bisa browsing di handphone! 😀

Masih tak percaya, saya seperti orang kesurupan, masuk ke blog ini dan itu, senang melihat lucunya tampilan blog yang lebih mini dari biasanya. Dan belum bosan-bosan. Hehehe. Agak telat mungkin untuk sebagian orang, tapi pagi ini saya sungguh senang bukan alang-kepalang.

Dan lagi, memang tidak sulit, kok, untuk membuat saya senang 😀

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP