Kita masih mencoba untuk saling mengerti satu sama lain, dan saya rasa akan seterusnya begitu. Semua ini adalah proses yang terbungkus waktu. Lama atau sebentar adalah sesuatu yang relatif; tetapi saya rela menghabiskan seluruh hidup saya untuk lebih mengerti dirimu.

Saya tahu, masih ada begitu banyak perbedaan di antara kita; meski tak sesering dulu kita berselisih paham. Memang ada masa-masa sulit itu, seperti bertahun-tahun lalu, ketika kita belum tahu bagaimana cara membuat yang lain mengerti selain dengan berteriak dan membanting pintu. Ada saat-saat ketika kita kehilangan kesabaran dan terpaksa membuat yang lain menjatuhkan butiran panas air mata. Yang membakar sampai ke hati.

Tetapi tahun-tahun belakangan, kita telah belajar untuk bertengkar dalam diam. Menyingkir sebentar untuk berpikir dan menenangkan diri agar tak perlu melakukan perbuatan atau mencetuskan perkataan yang akan membuat sakit hati. Perdebatan masih sering terjadi, karena sudut pandang kita terhadap berbagai hal sering bertolak belakang. Namun belakangan semuanya lebih sering kita akhiri dengan tawaran, “Mau dibikinin kopi, nggak?”

Dan kita pun akan menyingkir ke dapur yang nyaman, duduk di lantai sambil menikmati dua cangkir kopi dan potongan-potongan singkong goreng sambil berbincang tentang apakah besok pagi kita akan membuat sambal tempe atau sambal goreng, dan apakah dua bungkus kerupuk kampung putih isi 6 dengan irisan daun jeruk tipis-tipis yang kita sukai itu sudah habis hanya dalam sehari. Kemudian memutuskan bahwa enak sekali merebus Indomie kari ayam dengan potongan caisim, dan sambal cap Jempol banyak-banyak. Semangkuk berdua saja cukup untuk kita. Kita tidak lapar, hanya kepingin 🙂

Di luar semua perbedaan yang kita miliki, kita begitu mengenal satu sama lain sehingga hubungan kita nyaris menyerupai telepati. Entah bagaimana kau tahu apa yang ingin saya makan hari ini, meski saya tak pernah menyinggungnya. Kau tahu jika saya akan pergi pada akhir minggu, atau jika saya tidak jadi pergi–meski saya belum mengatakan apa-apa. Terkadang saya bertanya-tanya dalam hati di mana gunting kuku itu, kemudian tiba-tiba saja kau berseru, “Gunting kuku ada di meja kaca tiga.”

Hubungan kita berkembang begitu rupa, sehingga semua tahun-tahun sulit antara kita, yang terekam dalam buku-buku harian saya, nyaris terasa seperti mimpi saat ini. Saya tak yakin mengapa hubungan kita tak seperti ini dulu. Tapi mungkin kita berproses. Bukan hanya dirimu yang berproses, tetapi saya juga. Kita berkembang bersama. Saya semakin mengerti dirimu; begitu pula sebaliknya.

Jadi, saya harap, tahun-tahun sulit di antara kita, yang sudah hampir 8 tahun berlalu, akan selamanya menjadi sejarah.

Dan kita bisa menikmati lebih banyak lagi waktu-waktu seperti ini bersama: menggulung rambut, mengecat kuku, mengobrol di teras sambil merendam kaki di kolam ikan, menonton televisi, tidur-tiduran berdua sambil menatap langit-langit dan menceritakan lelucon-lelucon aneh dan gosip-gosip yang kau dengar dari tayangan infotainment, lalu lagi-lagi menyeruput kopi berdua ditemani sestoples biskuit…

Ya, ternyata kita punya banyak kesamaan. Kau juga suka kopi. Dan hujan. Dan makanan enak. Kau juga tergila-gila pada buku cerita dan musik. Ya, kau yang meminta saya membeli CD Tompi, Gwen Stefani, dan Kahitna. Kau suka Andra, Tiesto, Fort Minor, dan MIKA, dan gemar menyetelnya keras-keras di pagi hari. Kau yang membuat saya ikut jatuh hati pada lagu-lagu lama Simon & Garfunkel, BeeGees, Connie Francis, dan lagu-lagu lawas yang dinyanyikan kembali oleh Emi Fujita.

Kau tahu apa-apa yang sedang trend saat ini. Kau yang membelikan cat rambut warna ungu dan merah tua, kemudian mengecat rambut saya dan berkata, “Duh, masih kurang merah, ya, warnanya? Kurang ekstrim…”

Kau juga yang menyiapkan teh hangat dan bubur ayam ketika pada beberapa kesempatan yang lumayan jarang saya pulang pada pukul 5 pagi selepas clubbing. Dan kau akan bertanya, “Gimana, rame nggak?” dan “Ada siapa aja di sana?” lalu mengikuti saya ke kamar ketika saya hendak lelap di tempat tidur, dan kita ber-haha-hihi sebentar sebelum saya memasuki alam mimpi (saya tak pernah kuat begadang di luar, karena saya sangat suka tidur. di rumah, saya selalu punya banyak ransum untuk begadang, termasuk cemilan, kopi, dan selimut…).

Kita sama-sama menyukai Desta Club Eighties, body butter BodyShop, juga gorengan dan batagor di pabrik tas. Kita juga tak pernah bosan menonton tayangan ulang Ujang Pantry 1 & 2 yang dibintangi Ringgo Agus Rahman dan Dina Olivia, kalau tak salah sudah 3 atau 4 kali. Kita sama-sama tak tega melihat tayangan film dokumenter kehidupan hewan-hewan jika di dalamnya ada adegan binatang yang tengah diburu pemangsa. Sebelum tayangan itu memperlihatkan si pemangsa berhasil menerkam korbannya, kita sudah cepat-cepat memindahkan saluran agar tak perlu menyaksikan adegan seram itu.

Ya. Pada akhirnya, melalui sebuah proses yang panjang, kita mengerti bahwa di satu sisi, ada begitu banyak persamaan di antara kita–lebih dari apa yang kita kira. Dan kita juga mulai mengerti bahwa di sisi lain, kita memang begitu berbeda–tapi kita memang tak kuasa untuk tidak bersama.

Pada akhirnya, semua itu bermuara pada satu kata:

Cinta.

………………………………..

*)Happy birthday, Mom!

hanny

10 Responses

  1. Me: “Selamat ulang tahun, Tante.. Semoga sehat-sehat selalu..”
    Your Mom: “…”
    Me: “Saya nggak kenal kok Tante. Saya cuma penikmat tulisan-tulisan putri Tante. Nggak tau, rasanya ada sesuatu yang khas di sana..”
    Your Mom: “…”
    Me: “Wah, betapa beruntungnya Tante. Iya memang sekarang…”

  2. Selamat ulang tahun, Tante.

    Menurutku, ini bukan delapan tahun penuh cinta. Tetapi 25 tahun penuh cinta. Atau bahkan lebih. Kalau tak percaya, coba tanya ke tante.

    Cinta seorang ibu kepada anaknya adalah cinta tersuci, teragung, tanpa pamrih dan tak terbatas yang pernah ada antara dua insan. Bukti bahwa cinta itu benar-benar ada…

  3. selamat ulang taun, mom. kapan-kapan makan bubur bareng ya, mom. cieh … 😀 .. eh, udah punya blog lom, mom? mau dikado blog? 😛

    hihihi si ndoro… lucu amat komennya 😀 jangan dikasih blog ah. repot nanti kalo mom sampai nge-fans sama ndoro kakung. bisa gawat ini urusannya… hihihihihihi

  4. @taliguci: hihihi terima kasih atas percakapan virtualnya 😀

    @dewi & eva: hmm, dalam masa-masa sulit itu juga ada cinta. saya setuju dengan eva, 25 tahun penuh cinta (but a kind of love that is less expressed–karena masing-masing sudah menganggap adalah sewajarnya jika yang satu mencintai yang lain, dan begitupun sebaliknya).

    sementara 8 tahun belakangan, kita sudah belajar banyak untuk bisa mengekspresikan cinta 😀 (karena kita tahu bahwa ternyata cinta itu adalah pilihan. dan ternyata kita bisa memutuskan apakah kita akan mencintai atau tidak mencintai seseorang).

  5. Huaaa… keren banget postingannya.. gokil keren abis 🙂

    Dah lama ngga ngecek blognya hanny, sekarang makin keren aja. walopun suram tampilannya tapi gua suka…

    hwahahaha. suram, yah 😀 ntar diganti deh layoutnya biar ga suram lagi 🙂

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP