Dua orang itu bertemu di Bundaran HI.

Lelaki asing itu tersesat; sementara perempuan yang sudah mulai berumur itu memang selalu ada di sana. Apalagi, ini Jumat malam. Biasanya, banyak orang-orang yang nongkrong di tempat itu, ngobrol-ngobrol hingga larut malam menjelang dini hari, tertawa-tawa sambil memesan kopi. Perempuan itu tak tahu persis siapa sebenarnya orang-orang ini, dari mana mereka datang, atau mengapa mereka ada di sana. Tetapi ia senang-senang saja. Langit malam cukup luas untuk dinikmati sama-sama, dan trotoar di depan Plaza Indonesia itu juga cukup lapang untuk menampung siapa saja yang ingin datang.

Tetapi Jumat malam itu, tak ada lagi yang datang. Hanya ada lelaki asing itu; yang entah mengapa bisa terdampar di sebelah perempuan itu. Mereka saling mengamati. Yang satu nampak asing di mata yang lain. Tetapi langit yang terhampar di atas kepala mereka mengingatkan keduanya bahwa mereka ternyata tak jauh berbeda.

Si lelaki menatap si perempuan. Si perempuan balas menatapnya.

Si lelaki bertanya-tanya, apa yang dilakukan perempuan itu di sini, mendekati tengah malam, sendirian. Ia sudah cukup berumur, pakaiannya sudah lusuh, mengapa ia masih berada di luar, membiarkan diri terkena angin malam? Sungguh kasihan.

Si perempuan bertanya-tanya, apa yang dilakukan lelaki itu di sini, mendekati tengah malam, sendirian. Lelaki itu nampak asing di kota yang bisa sangat tidak ramah ini, mengapa ia masih berada di luar, membiarkan diri rentan terhadap ancaman yang mengintai? Pastilah ia tak bisa membela diri atau berlari cepat dalam pakaian yang lumayan rapi seperti yang dikenakannya sekarang ini. Sungguh kasihan.

I don’t know where I am,” kata lelaki itu, akhirnya. Lebih berupa pernyataan dibandingkan pertanyaan. Ia merasa harus mengisi kekosongan karena mulai merasa tak sopan. Meskipun ia punya perasaan bahwa perempuan itu tak mengerti apa yang ia utarakan.

Perempuan itu mengangguk, tapi tak bicara. Wajahnya tetap ‘lempeng’ seperti apa adanya. Kemudian perempuan itu tersenyum, seperti teringat sesuatu, lalu menghilang sebentar dan kembali lagi dengan segelas kopi tubruk yang disajikan dalam plastik air minum kemasan. Panas. Harum. Asap mengepul-ngepul. Diulurkannya kopi itu kepada si lelaki.

Ada hangat yang tercipta ketika lelaki itu menerima segelas kopi yang disajikan kepadanya; entah dari mana datangnya, seperti sulap saja. Ia pandangi perempuan itu, takjub karena keramahannya, memberikan segelas kopi panas pada lelaki asing yang tak dikenal.

Perempuan itu memandangi lelaki itu, tersenyum. Takjub karena lelaki asing itu sudi menerima segelas kopi yang disajikannya.

Thank you,” ujar lelaki itu sambil menyesap kopi panasnya pelan-pelan.

Perempuan itu tiba-tiba saja merasa bahwa lelaki itu pastilah mengucapkan terima kasih.

Kemudian mereka berjongkok di trotoar yang lapang. Lelaki itu, dan perempuan itu. Duduk saja, tidak bicara, karena kata-kata dan bahasa tak bisa menjembatani apa yang mereka maknai. Keduanya nyaman diam-diam menghabiskan larut malam memandangi langit, lampu kota, dan mobil-mobil lalu-lalang.

Lelaki itu menyesap kopinya, merasa betapa anehnya semua ini. Orang-orang sibuk menyambut kedatangannya dengan gegap-gempita; sementara di sudut kota yang sudah mulai tua ini, ada seorang perempuan berumur berdiri sendirian menentang angin malam.

Orang-orang yang kebetulan melintas malam itu memandang heran ke arah dua sosok yang nampak ganjil di mata mereka.

“Saya rasa saya kenal lelaki itu,” ujar seorang perempuan pada kekasihnya ketika mobil mereka melintas di sana. “Bukankah itu orang paling kaya di dunia?”

Lelaki itu mengernyitkan keningnya, berusaha melihat lebih jelas. “Masa? Nggak mungkin, dong orang paling kaya di dunia nongkrong di trotoar sini, berjongkok di sana dengan perempuan itu?”

Perempuan itu tertegun, lalu mengangguk. “Iya, benar juga.”

Dan berlalulah mereka.

Menjelang subuh, lelaki itu meregangkan tubuhnya. Ia selalu bisa menelepon, tentu saja. Bahkan sejak ia tersesat tadi malam. Akan ada yang menjemputnya dan mengurusnya dengan baik; memberinya pelayanan bintang lima yang mendekati sempurna.

Jadi, ia mengangguk pada perempuan yang berjongkok di sebelahnya itu, tersenyum. “Time to go,” katanya.

Perempuan itu ikut tersenyum.

Too bad I don’t bring any cash,” gumam lelaki itu penuh sesal. Akhirnya hanya ia tepuk bahu perempuan itu dua kali, kemudian beranjak pergi, sambil berharap agar perempuan itu baik-baik saja. Mungkin sebelum kembali ke negaranya, ia akan meminta asistennya kembali ke sini. Mungkin ia bisa membantu perempuan itu lebih banyak lagi. Kasihan.

Perempuan itu melambaikan tangannya. Mengantar kepergian lelaki itu dengan prihatin. Rasa bangga menyelinap di hatinya, karena ia telah menemani lelaki itu sepanjang malam dan memberinya kopi panas cuma-cuma. Tanpanya lelaki itu pasti kehausan. Mungkin ia juga harus menyediakan roti, siapa tahu lain kali ada lelaki asing yang tersesat lagi. Kasihan.

Matahari beranjak tinggi. Perempuan itu kembali ke rumah petak sempit yang berdampingan dengan para pemadat dan penyimeng. Lelaki itu menelepon asistennya, dijemput dengan limosin, dan diantar untuk berfoto dengan para petinggi negeri ini.

***

Di tempat lain yang tidak kelihatan, di suatu sudut pikiran, seseorang berharap malam itu benar-benar ada. Ketika dua dunia itu bisa bertemu, lelaki dan perempuan itu, dan keduanya baik-baik saja. Yang satu merasa baik-baik saja dalam kelebihannya, yang satu merasa baik-baik saja dalam kekurangannya. Yang satu merasa nyaman berada bersama yang lain. Ketika sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin.

Tetapi tentu saja, semua itu hanya berada dalam imajinasinya saja. Tak apalah, pikirnya. Imagination leads to creation

Lalu ia menutup laptop-nya dan tersenyum.

*) terinspirasi dari sebuah posting yang sangat menyentuh–sebuah posting yang begitu kaya dalam kesederhanaannya dan sangat berharga untuk dibaca selengkapnya di sini; dan sebuah event besar yang banyak dibicarakan orang minggu ini.

hanny

5 Responses

  1. bung fanabis itu memang jagonya mengiris hati dengan kata han. btw otak kamu itu isinya apa ya han? *gemes*

    *jadi pengen nyubit doraemon*

  2. @om gembul. saya memang punya pisau yang tajam tapi belum sanggup untuk bisa mengiris hati seorang pun.

    terimakasih untuk honey, eh hanny maksud saya yang sudah menyelebkan saya. 🙂

  3. #duh nambah. mau ralat. kata terakhir mestinya: terimakasih sudah menyelebkan blog saya

    ah, ada-ada aja. situ kan lebih seleb daripada saya hihihi. saya kan orang di belakang layar ;p saya yang terima kasih, dan saya sudah teriris dengan postinganmu!

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP