Dua puluh lima bukan perayaan. Bukan juga perenungan.

Dua puluh lima seperti hujan; yang meski sudah berkali-kali turun tak bosan juga ia pandangi dan nanti-nanti. Seperti secangkir kopi. Sesuatu yang terasa akrab dan apa adanya, seperti piyama lamanya, yang sudah tak jelas lagi warna aslinya, tetapi selalu membuatnya merasa bisa tidur jauh lebih nyenyak ketika mengenakannya.

Dua puluh lima tak menggantungkan harapan, tidak juga penyesalan.

Dua puluh lima seperti pagi dan matahari, kaos katun, celana pendek dan sepatu kets atau sendal jepit, rambut yang basah dan harum sehabis keramas, juga segelas jus jeruk di atas meja. Sesuatu yang begitu sehari-hari namun belakangan mulai coba ia nikmati, sebagai salah satu caranya membuka diri terhadap semua yang hidup tawarkan pada setiap hirup dan hembus nafasnya.

Dua puluh lima tak menyambutnya dengan derai tawa, juga air mata.

Dua puluh lima menawarkan masa lalu dan masa depannya sebagai pilihan, tetapi ia memilih untuk berkonsentrasi pada masa kini dan semua yang mengelilinginya seperti titik-titik embun yang menyimpan momen-momen kecil. Momen-momen yang ia reguk tanpa banyak bertanya, atau berpikir.

Wafel dengan cokelat cair, stroberi, dan es krim vanila serta serangkaian permainan-permainan aneh dan ledakan tawa di Timezone malam sebelumnya. Susu cokelat dingin, mandi berlama-lama, menggosokkan scrub Africa Spa Salt di atas kulitnya yang lembap, mencuci rambut, dan membaluri diri dengan lotion stroberi pada pagi hari, mem-blow rambut di kamar sambil menonton America’s Great Hair Cut-nya Oprah. Membalas beberapa pesan yang mampir di telepon genggamnya…

Lalu melompat ke atas tempat tidur, melakukan koneksi ke internet, dan membaca kembali sebuah bingkisan manis yang diterimanya lebih awal dari seorang teman. Ia tersenyum lagi ketika mengenali masa lalunya dalam bingkai-bingkai kata itu:

“Ah, saat ini si lelaki tengah tersipu dengan segala perasaannya terhadap perempuan itu, sambil berusaha keras menyeduh secangkir kopi untuknya. Hanya ada rumus 3:1 dalam benaknya kala menyendok serbuk kopi dan gula dari tempatnya. Ia bahkan tak tahu harus mencampurnya dengan apa lagi, atau berapa putaran sendok yang harus ia lakukan agar tercipta secangkir kopi sempurna di malam yang luar biasa ini. Lihat, di luar hujan begitu deras, dan ia tahu perempuan itu teramat sangat menyukainya. Ya, mereka sedang melakukan upacara perayaan untuknya. Para prajurit air langit yang selalu dirindukannya itu tengah bersuka cita melipurnya, selayak sahabat dan orang-orang terdekatnya yang turut berbahagia atas sebuah momentum istimewa: malam menjelang usia 25-nya kini.”

Sebuah bingkisan tentang dirinya dalam secangkir masa lalu.

Tetapi dua puluh lima adalah sepotong doa. Bukan untuk masa depan. Bukan untuk masa lalu. Bukan untuk harapan-harapannya, impian-impiannya, atau kebahagiaannya.

Dua puluh lima adalah sepotong doa mengenai rasa. Rasa syukur. Tak ada yang ingin ia minta–setidaknya untuk saat ini. Karena ia sedang ingin mencoba untuk menikmati semua. Dan menikmati semua ternyata membuatnya bahagia.

Ia tahu, masih banyak yang akan menunggunya di depan dua puluh lima; dan ia akan jalani saja satu-satu, seperti PacMan menelan titik-titik yang bertebaran di layar dan menghindari hantu-hantu. Bersenang-senang. Bermain-main

Dua puluh lima adalah sebuah permainan baru. Ia hendak belajar aturan mainnya, dan menikmatinya sesuka hati.

Let’s play! 🙂

Update (01/06/08): Tak ada yang lebih mengasyikkan daripada menghabiskan hari berikutnya dengan menikmati buku-buku bacaan baru…

Update (02/06/08): Kaos kelinci lucu untuk menjelajahi museum Sabtu ini, juga mug besaaar–mungkin agar ia lebih rajin minum air putih.

Thank you! 🙂

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Ya, ada beberapa pertanyaan yang selalu mengganggu saya:

Mengapa memilih untuk membakar ban?

Mengapa memilih untuk berteriak-teriak hingga suara serak?

Mengapa memilih untuk memblokir jalan?

Mengapa, misalnya, tidak memilih untuk mengumpulkan beberapa orang anak putus sekolah di wilayah sekitar, menampung mereka di auditorium setiap dua hari sekali, kemudian mengajari mereka membaca, menulis, sedikit matematika di sana, sedikit bahasa inggris di sini…?

Saya hanya bertanya. Karena bukankah, lagi-lagi, kita selalu punya pilihan?

Pertanyaan berikutnya adalah:

Pernahkah kita bertanya kepada diri sendiri, tentang mengapa kita memutuskan untuk mengambil pilihan yang satu; dan bukan pilihan yang lain?

Semoga keputusannya tidak didapatkan hanya dengan melempar koin.

Question everything. Learn something. Answer nothing,” kata Euripides. Jadi pertanyaan di atas tak perlu ‘dijawab’.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Ia tuang beberapa tetes cinta ke dalam segelas dukamu ketika kau tak melihatnya. Mengaduknya rata; mencampurnya sempurna sehingga tak lagi kentara perbedaan antara keduanya. Lalu kau teguk semua, hingga tak bersisa, memaknai sensasi rasa yang tak bisa kau terka apa. Jenis yang belum pernah kau kecap sebelumnya.

Ia diam saja, tak berkata-kata. Kau juga. Lalu kalian berpisah di sana. Begitu saja. Tanpa pernah tahu kapan lagi akan saling jumpa. Tetapi setidaknya, ia tahu bahwa kau baik-baik saja. Yang sedikit itu ternyata bisa melarutkan semesta. Karena ketika kalian saling tatap, di matamu, ia hanya melihat cinta.

untuk sahabat saya yang tengah jatuh cinta dan tadi sore berkata: “dia dah ngajak jalan lagi neh begitu gua pulang…koq rasanya susah banget dipercaya ya.”

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Mungkin semua ini memang berkaitan dengan karakter–sebagai individu, sebagai kelompok, dan pada akhirnya sebagai bangsa?

1. Afeksi berlebih pada kemiskinan dan barang gratisan

Pagi-pagi melewati taman di depan Pangrango. Ibu-ibu yang nampak wajar adanya, turun dari ojek, membayar, lalu masuk ke balik semak-semak, berganti pakaian, ta-da, pakaiannya compang-camping seketika. Lalu mulailah ia mengemis di dekat lampu lalu-lintas itu.

A: Mau ke mana, Bu?

B: Oh, ke lapangan… antri beras. Ada pembagian raskin.

A: (menatap tak percaya pada Ibu yang tidak bisa dibilang miskin itu)

B: Mari, lho. Duluan…

A: Soalnya kan anak saya banyak, ada delapan… buat makan aja susah. Apalagi sekolah?

B: Kok banyak sekali? Kenapa dulu nggak ikut KB?

A: Habis alat KB-nya nggak dikasih gratis

2. Selalu beranggapan bahwa akan ada orang lain yang menyelesaikan masalah dan mengambil alih tanggung jawab

A: Kok lo buang sampah sembarangan gitu, sih! (di jalan)

B: Ntar juga ada yang nyapu ini…

3. Skeptis ketika diminta melakukan hal yang benar

A: Kemarin bikin paspor pakai calo?

B: Nggak, kok. Ngurus pakai jalur biasa aja, sesuai loket yang ada.

A: Pakai harga resmi loket?

B: Iya.

A: Jadinya lama banget, ya?

B: Nggak, kok, 5 hari jadi.

A: Pasti dipersulit dan berbelit-belit, ya?

B: Nggak, ah. Biasa aja, kok. Semua lancar. Yang penting dokumen yang diminta lengkap.

A: Kalo pakai calo bisa lebih cepet, kan? Katanya bisa 3 hari jadi.

B: Oh, waktu itu sih saya soalnya kepotong hari Sabtu-Minggu. Memang perlunya buat kapan? Buru-buru banget?

A: Kayaknya sih baru 2 bulan lagi berangkat…

4. Egois dan selalu menghindar dari kesalahan

A: DINNNN DINNNN (klakson)

B: (menatap motor yang jalan di trotoar itu lalu kembali melenggang santai)

A: Minggir, woi!

B: Ini trotoar. Buat pejalan kaki, bukan buat motor.

A: Lo mau gue serempet? Minggir! DIIINNN DINNNN

A: Maaf, Pak, boleh dimatikan rokoknya? Asapnya itu, lho, Pak…

B: Kalo nggak mau kena asap rokok jangan naik angkutan umum, dong! Sana naik mobil sedan sendiri!

5. Tak cukup teladan yang baik

Sekumpulan polisi pamong praja di depan kantor pemerintahan di Kebon Sirih: “Suit suit, cewek-cewek, mau ke mana? Seksinya. Sombong amat, sih. Mau dianterin, nggak? Hahahahaha!”

6. Lebih menghargai hasil akhir ketimbang proses

A: Kok lo gak belajar, sih?

B: Udah bikin contekan!

A: Hih. Kok gitu.

B: Yang penting kan dapet nilai bagus. Emang kalo gue belajar tapi gak jago hapalan, trus dapet nilai jelek, guru kita mau tau, apa? Yang penting kan nggak ketauan nyonteknya. Hihihi.

Seorang teman (ST): “Han, lo dulu kok suka membolehkan diri kalo kita nyontek ujian lo?”

Saya (S): “Karena buat saya proses lebih penting dari hasil akhir. Kalian boleh aja nyontek sesukanya. Boleh jadi, nilai kalian sama bagusnya dengan nilai saya. Tapi kalian nggak akan bisa lebih pintar dari saya! HAHAHA! *devilish laughter*

ST: (mendengus) Huh. Dilempar sendal jepit baru tau! Hehehe.

7. Berpikir “gimana nanti” dan bukan “nanti gimana”, salah kaprah mengenai arti pasrah

A: Wah, anak keempat, ya. Lucunya. Banyak ya, Bu, anaknya.

B: Iya hahahaha.

A: Padahal sekarang apa-apa mahal…

B: Ah, gimana nanti aja saya sih, Bu. Kan anak punya rejeki sendiri-sendiri. Pasrah aja, semua udah ada yang ngatur…

B: Duh, gimana bayar sekolah anak-anak, ya? Susah Bu, kalo anaknya empat. Ibu sih enak, anaknya cuma satu.

A: Ah, nanti juga ada rejekinya masing-masing… kan dulu Ibu juga yang bilang gitu. Gimana nanti, aja, Bu. *agak meledek*

Tapi tentunya, masih ada beberapa adegan singkat yang mencerahkan. Memang motivasi dan inspirasi itu bisa datang dari mana saja.

Ibu: Eh, ini ada tas sekolah. Ayo, kamu pilih. Ibu belikan buat anakmu…

Mbak: Aduh, makasih, Bu. Tapi… kalau Ibu mau beliin tas, boleh nggak kalau uangnya dibeliin buku bahasa inggris aja, saya ada sih judul bukunya, ini anak saya disuruh beli buku ini sama gurunya.

Ibu: (terharu) Ya sudah, ayo kita ke toko buku. Ini tasnya tetap dibeli juga, deh. Nanti bukunya juga Ibu belikan…

Tukang sayur: Bu, ada koran, nggak?

Ibu: Berapa banyak? Kemarin beberapa sudah diminta warung belakang juga, lho…

Tukang sayur: Oh, bukan, Bu. Maksudnya pinjem koran hari ini. Lagi dibaca Bapak, nggak? Kalo nggak, saya mau pinjem, baca koran dulu di sini sambil nunggu ibu-ibu yang mau belanja…

Cerah itu juga bisa datang dari balik awan:

Ada siswa-siswa yang membongkar kasus korupsi di sekolahnya. Siswa dari daerah yang memenangkan Olimpiade Fisika. Korban selamat tsunami yang justru menginisiasi penanaman berhektar-hektar mangrove di daerah pantai Aceh.

Semoga kita semua dapat bertumbuh menjadi mereka yang mencerahkan, menginspirasi, memotivasi–sebatas kemampuan kita. Tak apa kecil, bila mampu memberi arti.

Karena dalam hidup ini, kita selalu punya pilihan 🙂

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Ternyata blog telah menjadi ranah yang semakin patut diperhitungkan, karena bahkan para penipu telah berupaya menjadikan blogger sebagai target operasi mereka. Jika Anda menerima SMS dan diminta mentransfer sejumlah uang ke rekening di bawah ini, jangan tertipu. Baca informasi yang benar mengenai Pesta Bloggger di blog resminya.

Gambar layar berisi SMS penipuan di bawah ini berhasil ditangkap oleh Siwi.


hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Ketika hujan malam-malam, memang paling enak menyantap semangkok bubur ayam di bawah tenda di pinggiran Simpang Tiga yang temaram. Sudah keduluan, ternyata, oleh mereka-mereka yang perutnya keroncongan, hendak berteduh dari hujan, atau sekedar pacaran.

Bubur putih yang panas, mengepul, lengkap dengan suwiran ayam goreng, kerupuk, dan juga sate usus..

Sayang, hanya tinggal dua mangkok lagi. Tak ada sisa untuk orang ketiga yang melongok sedih ke dasar panci. Kosong, tentunya.

Mmm, terhidang di meja. Harum. Hangat. Dicicip sedikit. Mmh. Hangat ke hati 🙂 Pas asinnya. Pas gurihnya. Tak perlu menambah bumbu lagi. Begini sudah sempurna.

Sebenarnya, jika masih ada bubur tersisa, saya akan memesan semangkok bubur lagi untuk dibungkus. Iya, semangkok lagi. Oh, bukan. Bukan untuk oleh-oleh; tetapi untuk dimakan sendiri sehabis mandi. Hihihi.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Percakapan manis dengan seorang sahabat lama:

H (saya): Hmm, statusnya… hehehe. Lagi senang kenapa? 🙂
S (sahabat): Ada, deh…
H: Idih. *pletaakkk* >:p
S: Hehehe, lagi mau deketin cewek, nih, Han… 🙂
H: Ooo, pantesss :)) Dan siapakah perempuan yang beruntung itu?
S: Beruntung? Gua yang beruntung 🙂

Ouch. So sweet. Dari sekian banyak teman lelaki yang mengisahkan kehidupan cinta dan lika-liku pengejaran mereka, baru dia satu-satunya lelaki yang menjawab pertanyaan standar saya itu dengan mengatakan bahwa dirinyalah yang beruntung.

Semoga berhasil, Bang! 🙂

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

When I find out who I am
I’m gonna know just what to do
When I pull myself together again
I’m gonna give myself to you

“Maybe I was too young back then. I didn’t (want to) know that love works in so many different ways. That love isn’t a pack of instant noodles, but more of a fine-dining experience: wonderful, but can be very complicated at times. Plus, I hadn’t had a lesson that there was no such thing as a ‘happy ending’. Because an ending is merely a beginning of something else. Something so distant, so unpredictable…”

Is this forever
This feeling I’ve got
Not enough and too much
So free and so caught up
In something and nothing
Both at the same time
I’m either out of my head
Or I’m out of my mind

Dulu, ia pikir, perasaannya padamu akan bertahan selamanya. Ia belum tahu bahwa segala hal berubah; dan bahwa masa depan itu jamak, bukan tunggal. Ia tak pernah membayangkan bahwa masa depan itu bercabang. Ia pikir masa depan hanya satu. Masa depan yang ia tahu. Denganmu.

Tetapi ternyata, masa depan itu menghamparkan berbagai pilihan–dan ia kini kewalahan. Ternyata ada begitu banyak jalan dan kemungkinan…

When I find out who I am
I’m gonna know just what to do
When I pull myself together again
I’m gonna give myself to you

Dulu, ia hanya belum siap. Merasa nyaman dengan ketidaktahuan. Hidup hanya dengan harapan. Tetapi yang begitu itu bukanlah hidup yang sebenar-benarnya; dan meski berharap itu perlu, bertindak itu mutlak.

Is this forever
This feeling that I’m not movin’ at all and I just can’t stop it
It’s like I’m dreaming
And I’m wide awake too
Will you remember me
Cause I won’t forget you

Tentu, dulu ia belum tahu itu. Bahwa melupakan itu sama sekali tidak penting. Pemborosan energi yang tidak perlu. Mengapa harus melupakan jika hidup menghadiahi kita kenangan? Satu-satunya hadiah dari kehidupan yang cenderung abadi (yang ternyata masih juga bisa direnggutkan oleh alzheimer). Alangkah bahagianya hidup dengan ingatan dan tetap merasa baik-baik saja. Bukankah itu kebahagiaan yang sebenar-benarnya?

Tetapi tak mengapa, karena dulu ia tak tahu.

When I find out who I am
I’m gonna know just what to do
When I pull myself together again
I’m gonna give myself to you

Tapi setidaknya, kini ia belajar. Ia berproses. Ia mengerti juga akhirnya, meski membutuhkan waktu lama. Tak mengapa, karena ia menikmati setiap langkahnya, orang-orang yang ditemuinya, tawa dan air mata yang dengan sabar menuntunnya. Ia tak bisa mengeluh. Hidup ternyata sudah terlalu baik padanya.

“Saya saja yang terkadang tidak tahu diri,” katanya sambil tertawa.

I guess I was saving my life for later
Or maybe I should have been giving myself to you
Now I will but I got to find out who I am before I do
Before I do

Ia ingin belajar mengenal dirinya sendiri terlebih dahulu. Ada banyak sisi gelap dan terang dalam dirinya yang belum ia jelajahi satu-satu. Dulu ia terlalu sering memikirkanmu; mencoba mengenali dirimu; mengerti pikiran-pikiran dan perasaanmu. Ia lupa bahwa ia tidak akan pernah bisa mengerti dirimu sebelum ia mengenali dirinya sendiri. Dan kamu, kamu sama sekali tidak membantu.

Hahaha, saya bercanda 🙂 Mungkin dulu kamu juga tak tahu bahwa kamu mengada hanya untuk membantunya belajar. Dan kini, sepertinya ia sudah mengerti. Jika pelajaran itu usai nanti, akankah kamu merindukannya?

When I find out who I am
I’m gonna know just what to do
When I pull myself together again
I’m gonna give myself to you

Karena, setelah ia mengenali dirinya, mungkin ia tak lagi menginginkanmu. Yah, mungkin ia masih menganggapmu menyenangkan untuk diingat sesekali. Tetapi ia pikir, ada atau tak ada kamu, hidup terus berjalan, dan kebahagiaan lain masih menunggunya di depan. Ia juga sudah belajar bahwa kebahagiaan itu jamak, bukan tunggal. Ah, waktu. Semakin sempit, bukan?

When I find out who I am
I’m gonna know just what to do
When I pull myself together again
I know, I’m gonna give myself to you
I’m gonna give myself to you
I’m gonna give myself to you

“I hope, one day, we’ll meet again,” katanya sambil mematikan lampu. “And I hope, by then, I’ve found out who I am; and he has found out who he is. And when that day comes, I will have no expectation whatsoever. I’ll be glad to see him, of course, but that’s it–because from this day on, I’ll gulp down whatever life has to offer me…”

………………………………….

*) Ditemani lagu TRAIN, “Give Myself to You” (Album: For Me, It’s You, 2006), dan halaman buku harian bertanggal 9 Juli 2001, ditulis pada suatu Senin malam. Berisi penyangkalan.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Dua orang itu bertemu di Bundaran HI.

Lelaki asing itu tersesat; sementara perempuan yang sudah mulai berumur itu memang selalu ada di sana. Apalagi, ini Jumat malam. Biasanya, banyak orang-orang yang nongkrong di tempat itu, ngobrol-ngobrol hingga larut malam menjelang dini hari, tertawa-tawa sambil memesan kopi. Perempuan itu tak tahu persis siapa sebenarnya orang-orang ini, dari mana mereka datang, atau mengapa mereka ada di sana. Tetapi ia senang-senang saja. Langit malam cukup luas untuk dinikmati sama-sama, dan trotoar di depan Plaza Indonesia itu juga cukup lapang untuk menampung siapa saja yang ingin datang.

Tetapi Jumat malam itu, tak ada lagi yang datang. Hanya ada lelaki asing itu; yang entah mengapa bisa terdampar di sebelah perempuan itu. Mereka saling mengamati. Yang satu nampak asing di mata yang lain. Tetapi langit yang terhampar di atas kepala mereka mengingatkan keduanya bahwa mereka ternyata tak jauh berbeda.

Si lelaki menatap si perempuan. Si perempuan balas menatapnya.

Si lelaki bertanya-tanya, apa yang dilakukan perempuan itu di sini, mendekati tengah malam, sendirian. Ia sudah cukup berumur, pakaiannya sudah lusuh, mengapa ia masih berada di luar, membiarkan diri terkena angin malam? Sungguh kasihan.

Si perempuan bertanya-tanya, apa yang dilakukan lelaki itu di sini, mendekati tengah malam, sendirian. Lelaki itu nampak asing di kota yang bisa sangat tidak ramah ini, mengapa ia masih berada di luar, membiarkan diri rentan terhadap ancaman yang mengintai? Pastilah ia tak bisa membela diri atau berlari cepat dalam pakaian yang lumayan rapi seperti yang dikenakannya sekarang ini. Sungguh kasihan.

I don’t know where I am,” kata lelaki itu, akhirnya. Lebih berupa pernyataan dibandingkan pertanyaan. Ia merasa harus mengisi kekosongan karena mulai merasa tak sopan. Meskipun ia punya perasaan bahwa perempuan itu tak mengerti apa yang ia utarakan.

Perempuan itu mengangguk, tapi tak bicara. Wajahnya tetap ‘lempeng’ seperti apa adanya. Kemudian perempuan itu tersenyum, seperti teringat sesuatu, lalu menghilang sebentar dan kembali lagi dengan segelas kopi tubruk yang disajikan dalam plastik air minum kemasan. Panas. Harum. Asap mengepul-ngepul. Diulurkannya kopi itu kepada si lelaki.

Ada hangat yang tercipta ketika lelaki itu menerima segelas kopi yang disajikan kepadanya; entah dari mana datangnya, seperti sulap saja. Ia pandangi perempuan itu, takjub karena keramahannya, memberikan segelas kopi panas pada lelaki asing yang tak dikenal.

Perempuan itu memandangi lelaki itu, tersenyum. Takjub karena lelaki asing itu sudi menerima segelas kopi yang disajikannya.

Thank you,” ujar lelaki itu sambil menyesap kopi panasnya pelan-pelan.

Perempuan itu tiba-tiba saja merasa bahwa lelaki itu pastilah mengucapkan terima kasih.

Kemudian mereka berjongkok di trotoar yang lapang. Lelaki itu, dan perempuan itu. Duduk saja, tidak bicara, karena kata-kata dan bahasa tak bisa menjembatani apa yang mereka maknai. Keduanya nyaman diam-diam menghabiskan larut malam memandangi langit, lampu kota, dan mobil-mobil lalu-lalang.

Lelaki itu menyesap kopinya, merasa betapa anehnya semua ini. Orang-orang sibuk menyambut kedatangannya dengan gegap-gempita; sementara di sudut kota yang sudah mulai tua ini, ada seorang perempuan berumur berdiri sendirian menentang angin malam.

Orang-orang yang kebetulan melintas malam itu memandang heran ke arah dua sosok yang nampak ganjil di mata mereka.

“Saya rasa saya kenal lelaki itu,” ujar seorang perempuan pada kekasihnya ketika mobil mereka melintas di sana. “Bukankah itu orang paling kaya di dunia?”

Lelaki itu mengernyitkan keningnya, berusaha melihat lebih jelas. “Masa? Nggak mungkin, dong orang paling kaya di dunia nongkrong di trotoar sini, berjongkok di sana dengan perempuan itu?”

Perempuan itu tertegun, lalu mengangguk. “Iya, benar juga.”

Dan berlalulah mereka.

Menjelang subuh, lelaki itu meregangkan tubuhnya. Ia selalu bisa menelepon, tentu saja. Bahkan sejak ia tersesat tadi malam. Akan ada yang menjemputnya dan mengurusnya dengan baik; memberinya pelayanan bintang lima yang mendekati sempurna.

Jadi, ia mengangguk pada perempuan yang berjongkok di sebelahnya itu, tersenyum. “Time to go,” katanya.

Perempuan itu ikut tersenyum.

Too bad I don’t bring any cash,” gumam lelaki itu penuh sesal. Akhirnya hanya ia tepuk bahu perempuan itu dua kali, kemudian beranjak pergi, sambil berharap agar perempuan itu baik-baik saja. Mungkin sebelum kembali ke negaranya, ia akan meminta asistennya kembali ke sini. Mungkin ia bisa membantu perempuan itu lebih banyak lagi. Kasihan.

Perempuan itu melambaikan tangannya. Mengantar kepergian lelaki itu dengan prihatin. Rasa bangga menyelinap di hatinya, karena ia telah menemani lelaki itu sepanjang malam dan memberinya kopi panas cuma-cuma. Tanpanya lelaki itu pasti kehausan. Mungkin ia juga harus menyediakan roti, siapa tahu lain kali ada lelaki asing yang tersesat lagi. Kasihan.

Matahari beranjak tinggi. Perempuan itu kembali ke rumah petak sempit yang berdampingan dengan para pemadat dan penyimeng. Lelaki itu menelepon asistennya, dijemput dengan limosin, dan diantar untuk berfoto dengan para petinggi negeri ini.

***

Di tempat lain yang tidak kelihatan, di suatu sudut pikiran, seseorang berharap malam itu benar-benar ada. Ketika dua dunia itu bisa bertemu, lelaki dan perempuan itu, dan keduanya baik-baik saja. Yang satu merasa baik-baik saja dalam kelebihannya, yang satu merasa baik-baik saja dalam kekurangannya. Yang satu merasa nyaman berada bersama yang lain. Ketika sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin.

Tetapi tentu saja, semua itu hanya berada dalam imajinasinya saja. Tak apalah, pikirnya. Imagination leads to creation

Lalu ia menutup laptop-nya dan tersenyum.

*) terinspirasi dari sebuah posting yang sangat menyentuh–sebuah posting yang begitu kaya dalam kesederhanaannya dan sangat berharga untuk dibaca selengkapnya di sini; dan sebuah event besar yang banyak dibicarakan orang minggu ini.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP