Akhirnya, tercapai juga keinginan untuk ikutan acaranya Sahabat Museum. Sabtu-Minggu kemarin, saya bergabung dengan para pecinta sejarah dan bangunan tua yang terdiri mulai dari anak kecil, remaja, ibu-ibu dan bapak-bapak, sampai oma-oma yang masih fit dan penuh semangat. Lintas generasi sekali, ternyata.

Dalam acara Plesiran Tempo Doeloe (PTD) di Bandung ini, saya dan kawan-kawan Sahabat Museum berkunjung ke Museum Geologi, lalu diceritakan perihal ‘Cekungan Bandung’ oleh geolog ITB, Pak Budi Brahmantyo (yang sempat melakukan penggalian fosil di Gua Pawon dan menemukan kerangka Manusia Pawon!).

Tujuan berikutnya adalah Boscha di Lembang–dan bersama beberapa orang kenalan baru yang ikut PTD hari itu, menyimpulkan bahwa adegan dalam film Petualangan Sherina itu agak misleading. Tak ada perkebunan teh di sepanjang jalan menuju Boscha 🙂

Menariknya, setelah melihat kubah Boscha dibuka-tutup, kami juga sempat melihat langit malam yang “dijepret” via software khusus (“I want that software, hehehe!!!). Kami bisa melihat keadaan langit pada hari itu, Sabtu, 26 April, dan bisa meng-klik titik-titik bintang atau planet untuk memperbesarnya. Ah, menyenangkan!!! More than I can imagine. Soalnya saya sudah cukup senang memandangi langit penuh bintang di boncengan ojek pada malam hari 🙂

Dari Boscha, kami pergi ke Vila Isola–yang dulunya merupakan rumah peristirahatan seorang pengusaha kaya bernama Beretty; salah satu karya arsitektur Wolff Schoemaker yang indah di Bandung. Jadi terbayang film-film cinta kuno terutama adegan pesta dansa di ballroom ketika menjejakkan kaki di dalamnya.

Dari Vila Isola kami menuju Saung Angklung Mang Udjo; disambut pertunjukan yang luar biasa menarik dari anak-anak kecil yang lucu-lucu, juga belajar memainkan angklung. Sayang, beberapa foto yang saya ambil buram. Maklum, masih amatir 🙂

Pagi harinya kami berkunjung ke Museum Mandala Wangsit Siliwangi–mengikuti sejarah pemberontakan DI/TII. Walaupun sebenarnya koleksi di museum ini luar biasa bagusnya, kondisi museum di sini kurang terawat. Banyak tembok yang lembab dan berlumut, juga sisa-sisa bocor yang mengakibatkan noda di sana-sini; juga merusak lukisan-lukisan yang terpasang di dinding.

Tur berikutnya adalah menyusuri Bandung tempo dulu bersama Pak Her Suganda, yang ternyata pernah menjadi wartawan KOMPAS sejak tahun ’75. Kami mulai dari Sungai Cikapundung…

kemudian menuju Sumur Bandung di dalam Gedung PLN (yang konon airnya bisa membuat kita awet muda dan enteng jodoh “aminnn”–jelas, semua ikut membasuh muka dengan air tersebut).

Dari sana kami berjalan lagi menuju penjara Banceuy, tempat Bung Karno menulis pidato Indonesia Menggugat yang terkenal itu. Kamar penjara ini ternyata sangat kecil dan lumayan gelap. Sedihnya, di pagar-pagar di sekitar monumen, justru banyak digunakan penduduk untuk menjemur pakaian…

Dari sana kami menuju menara Masjid Raya di Alun-Alun,

… kemudian berjalan terus sambil memotret gedung-gedung dan objek-objek yang menurut saya menarik 🙂

Hingga akhirnya kami melewati hotel Savoy-Homann,

dan singgah sebentar di titik 0 Bandung dan mendengarkan kisah Pak Her mengenai titik 0 dan Jalan Raya Pos-nya Daendels.

Museum KAA (Konferensi Asia-Afrika) menjadi tempat kunjungan berikutnya. Kalau dibandingkan dengan Museum Mandala Wangsit, terlihat jelas bahwa Museum KAA memang sangat terawat dan dijaga dengan baik. Semua koleksinya dipelihara dan dipamerkan secara estetis. Ruangannya pun nyaman dan bersih. Mungkin karena museum ini sering dikunjungi tamu-tamu negara?

Setelah selesai berkeliling museum KAA, giliran Pak Djoko Marihandono dari UI yang memaparkan versi lain mengenai Daendels dan Jalan Raya Pos. Pak Djoko kabarnya bukan hanya membuka arsip-arsip Belanda, namun juga arsip-arsip Perancis yang tersimpan di kota Paris. Beliau pun menemukan adanya perbedaan antara kisah Daendels versi Belanda dan versi Perancis, yang dapat digunakan untuk meluruskan persepsi kita mengenai siapa Daendels, dan apakah benar ia adalah Gubernur Jenderal yang kejam, yang menghilangkan nyawa ribuan orang ketika membangun jalan Anyer-Panarukan?

Menurut Pak Djoko, ternyata tidak demikian kisahnya ;p (nah, lho. ending yang menggantung, hehehe, kalau sudah sempat saya ceritakan kisah Daendels versi Pak Djoko, deh).

Oleh-oleh yang paling berkesan dari PTD ke Bandung ini? Selain kesempatan mengunjungi situs-situs budaya dan sejarah, dan bertemu dengan kenalan-kenalan baru, adalah tentunya: the privilege to be on my own and to know who I really am…

Iya, karena saya single fighter, alias mengikuti PTD Bandung ini sendirian, saya bisa menikmati waktu dengan melakukan ini-itu sesuka hati, tanpa perlu berkompromi dengan teman-teman. Tentunya atas nama toleransi, keegoisan semacam itu tidak selalu bisa diterapkan ketika kita pergi dengan kawan-kawan 🙂

Dan saya jadi tahu apa yang menarik untuk saya. Ternyata saya tertarik menjadikan jendela sebagai objek jepretan kamera saya. Entah mengapa. Tadi malam, ketika mentransfer foto-foto, saya baru sadar bahwa ada begitu banyak foto jendela yang saya ambil.

Saya juga sempat menyalin sebuah cerita yang menyentuh tentang Apartheid dari komputer di Museum KAA. Saya rasa orang-orang heran, mengapa saya begitu serius mencatat dan apa sebenarnya yang saya catat 🙂 Esok saya akan berbagi catatan itu…

Sekarang, saya hendak menikmati kebahagiaan akhir minggu itu dulu.

hanny

21 Responses

  1. @ balibul:

    no. 2 apaan, sih? hehehe kalo maksudnya foto nomor 2, itu keren karena ada saya-nya hihihihi *dilempar sendal jepit-pletaaak*

    wah, iya, nggak ada jadwal ke kopi aroma, euy. yang deket kantor pos itu, yah? iya, ya… kok nggak ke sana, ya *masih nggak percaya*

    hehehe mungkin di kunjungan berikutnya 🙂 untungnya saya udah nyobain kopi aroma itu. jadi nggak penasaran-penasaran amat…

  2. wow,,,gw lama kuliah di Bandung dan gw melewatkan hal ini???!!! *penyesalan tiada tara* karena gw baru mulai mencitai dan melirik hal2 berbau sejarah ini 2 3 tahun terakhir padahal perjalanan gw di mulai sejak kuliah…*nangis darah sekarang* nampak gw harus mengulang ini kalo ke Bandung lagi cuti…nice post, oh yah, speaking of Pak Budi, beliay adalah dosen gw, dan emng dia cinta banget bandung dan sejarahnya baik searah geologi dan lain2, nampak kalo ke bandung gw harus melipir ke labnya secara khusus bahas ini…heheheh
    nice!!!!

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP