Sabtu dini hari datang dengan secangkir kopi panas di tangan, lalu duduk di hadapan perempuan itu. “Hei, mari kita berbincang tentang kebahagiaan,” katanya.

Perempuan itu terkejut. “Mengapa kebahagiaan?” tanyanya sambil menerima secangkir kopi yang disodorkan Sabtu dini hari kepadanya.

“Entahlah,” Sabtu dini hari mengangkat bahu. “Hanya saja, belakangan ini kamu nampak tidak bahagia…”

Perempuan itu mendesah dan menyesap kopinya pelan-pelan, pikirannya tertuju pada sebuah percakapan yang berlangsung nyaris setahun lalu:

X: Mengapa kamu pikir aku dapat membuatmu bahagia?
Y: Entahlah. Jujur, aku tidak tahu apakah kamu dapat membuatku bahagia…
X: Jadi?
Y: Mungkin memang bukan kebahagiaan yang aku cari.


“Jadi, apakah kini kamu mencari kebahagiaan?” tanya Sabtu dini hari.

“Ya,” perempuan itu mengangguk. “Tapi… mengapa dulu aku tidak ingin mencarinya?” tanya perempuan itu, bingung. “Mengapa dulu aku menganggap kebahagiaan itu tidak terlalu penting, sehingga aku tak perlu mengejarnya?”

“Karena dulu kamu memilikinya,” Sabtu dini hari menjawab. “Jika kamu sudah memiliki kebahagiaan itu di dalam dirimu, tentu kamu tak perlu lagi susah-susah mencarinya. Justru karena kamu sadar bahwa kamu sudah kehilangan kebahagiaan itu, maka kini kamu mencarinya. Ingat, kamu sendiri yang pernah berkata: ‘kita tidak akan tahu betapa berartinya sesuatu itu, hingga sesuatu itu direnggutkan dari kehidupan kita’. Sesuatu itu bisa berupa kebahagiaan, kan?”

“Jadi apa yang harus aku lakukan?” perempuan itu bertanya, menatap Sabtu dini hari tepat di matanya.

Sabtu dini hari tidak menjawab, tetapi memutar sebuah lagu dari iTunes perempuan itu. Time After Time-nya Cindy Lauper.

“Kamu sudah mendapatkan sesuatu yang sejak dulu kamu kejar,” ujar Sabtu dini hari. “Tetapi ternyata, setelah mendapatkannya, kamu kehilangan kebahagiaanmu. Ini saatnya bagimu untuk memilih.”

Perempuan itu menghela napas panjang. Ia sudah tahu bahwa hidup penuh dengan pilihan-pilihan, namun tetap saja, ia selalu kesulitan ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan.

“Aku ingin mengingatkanmu pada sesuatu,” ujar Sabtu dini hari.

“Apa?” tanya perempuan itu.

Sabtu dini hari tersenyum. “Ada seseorang yang kukenal, yang pernah mengatakan bahwa ia ingin mengejar kebahagiaannya sendiri terlebih dahulu, kemudian baru membahagiakan orang lain. Karena seseorang tidak akan pernah bisa membagi apa-apa yang tidak ia miliki. Kita tidak akan bisa membahagiakan orang lain jika kita sendiri tidak bahagia.”

Perempuan itu tersipu. Ia tahu siapa seseorang itu. Dan ia tidak lupa.

“Aku hanya ingin bahagia,” ujar perempuan itu sambil merasakan kehangatan bagian luar cangkir kopinya dengan kedua telapak tangan.

“Kita semua menginginkannya,” Sabtu dini hari mengangguk. “Tetapi hanya mereka yang berani memilih kebahagiaanlah yang berhak mendapatkannya.”

hanny

4 Responses

  1. wah, sudah lama tidak membaca tulisan2mu…. rasanya kangen sekaleeeehhh.
    weeeew, kalo ini diposting di kemudian, saya udah ngasi 10 deh. iyalah, hanny.
    tapi, janganlah sekali-kali memposting lagi di k.com, soalnya gak bisa dicopas… heuheuheu…

    lo tau, waktu baca Jendela, pada sebuah senja lo itu, gue ampe nulis ulang…. gila.

    wah, han, lo mo nyari kebahagiaan yang macam gimana sih????

    bahagia itu akan datang pada mereka yang memang benar-benar menginginkannya^^

    dan, jika kamu ingin berbahagia, maka berbahagialah.-halah, nogmong apa, saya.

  2. @wazeen: hahaha sabtumu juga bisa ;p

    @dadun: wadawww nulis ulang… parah hihihi oh iya, ya sekarang di k.com udah ga bisa copas hehehe kalo baca mesti online terus :p

    @arief: thanks, and thanks for visiting! 🙂

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP