Beberapa menit yang lalu, saya baru saja usai menyaksikan tayangan The Scholar—kompetisi memperebutkan beasiswa S2 yang dikemas dalam bentuk reality show. Dalam episode yang baru saja saya saksikan, dua tim yakni Black Coffee dan Mars in Venus ditugaskan untuk mengonsep sebuah community newsletter.

Saya tidak tahu persis brief lengkap yang diberikan, entah karena saya memang luput menontonnya (karena sempat ke dapur mengambil sop) atau memang tidak dipaparkan seluruhnya karena keterbatasan waktu.

Meskipun demikian, yang bisa saya tangkap adalah tiap tim diberikan tugas untuk membuat konsep community newsletter dengan target anak-anak usia 10-15 tahun, dengan tujuan meningkatkan gairah mereka terhadap dunia bulu tangkis, sehingga mereka terinspirasi juga untuk menggeluti bidang ini dan memungkinkan terjadinya regenerasi.

(Anyway, mungkin ada baiknya jika brief lengkap yang diberikan pada masing-masing tim ditayangkan di salah satu sisi layar—atau dibuat dalam bentuk teks di bagian bawah, sehingga para penonton bisa ikut mengetahui tugas dan batasan-batasan yang diberikan. Dengan demikian, para penonton juga bisa ikut berpikir dan membuat konsep).

Karena saya tidak tahu batasan atau aturan mainnya secara lengkap, saya pun tidak terlalu mengerti mengapa kedua tim lantas membuat advertorial. Saya pun tak tahu di media mana advertorial tersebut akan dipasang.

Tim pemenang (Black Coffee) mengambil konsep garis waktu di masa lalu, masa kini, dan masa depan—menggambarkan perkembangan dunia bulu tangkis kita dengan copy pahlawan-pahlawan bulu tangkis yang telah mengharumkan nama bangsa. Tim yang kurang beruntung (Mars in Venus) mengambil tema kartun dengan tokoh kok bulu tangkis.

Saya tidak tahu apakah memang dalam brief yang diberikan dikatakan bahwa tim-tim ini harus membuat konsep advertorial. Jika target mereka adalah anak-anak usia 10-15 tahun, apakah mereka akan terinspirasi dengan advertorial tersebut?

Lantas, jika advertorial ini akan dipasang di koran, apakah anak-anak usia 10-15 tahun ini membaca koran tersebut? Berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk sekali saja memasang advertorial di koran, apalagi koran nasional?

Juri yang menentukan kemenangan tim yang bertanding dalam episode ini adalah seorang wartawan olah raga senior. Menurut saya, di samping kehadiran beliau, akan lebih menarik dan fair jika The Scholar benar-benar mengundang sekelompok anak usia 10-15 tahun untuk memberikan suara dan ikut menentukan tim yang menjadi pemenang. Bukankah anak-anak ini yang menjadi target “newsletter” tersebut?

Saya jadi ingat, sewaktu saya masih duduk di bangku SD-SMP dulu. Saat itu komik-komik Jepang tentang balet dan balerina merajalela (siapa ingat Mari-Chan?). Saya pun ingat, sejak saat itu banyak sekali teman-teman saya yang tertarik pada dunia balet.

Ternyata balet bukan hanya tarian, tapi di dalamnya ada cinta, masalah keluarga, intrik, persaingan, kecurangan, sekaligus prestasi, kebanggaan, dan kerja keras. Komik-komik ini menurut saya sangat menginspirasi dan menggugah ketertarikan pembacanya akan dunia balet.

Semasa SMA pun, komik sepak bola dari Jepang bertajuk Shoot begitu digemari. Kawan-kawan saya membahas berbagai teknik dan tendangan sepak bola dari komik itu dengan seru. Bagi kawan-kawan perempuan pun dunia sepak bola tiba-tiba menjadi menarik, karena dikemas dalam bentuk komik dengan jalinan cerita yang membuat penasaran.

Kalau dipikir-pikir lagi, apa yang gemar dibaca oleh anak-anak usia 10-15 tahun? Saya kira di antaranya ada komik (manga) dan teenlit. Mengingat ada banyak sekolah manga di luar sana saat ini, mungkin akan menarik jika membuat semacam community newsletter berbentuk manga, bercerita tentang kehidupan remaja-remaja di Pelatnas Bulu tangkis.

Intrik, persaingan, kompetisi, sedikit taburan kisah cinta, pengalaman dalam turnamen di luar negeri… semua diramu bersama teknik permainan bulu tangkis, latihan-latihan, trik-trik para pebulu tangkis kawakan dan keunggulan mereka… ah, begitu banyak yang bisa dieksplorasi.

Untuk melakukan hal ini, kerja sama dengan sekolah-sekolah manga yang ada bisa dijalin. Penerbitan bisa dilakukan secara mandiri, atau dengan dukungan dari PBSI, dan komik-komik ini bisa disalurkan ke berbagai sekolah di berbagai daerah sebagai koleksi perpustakaan.

Baiklah, usai sudah sesi berkhayal saya. Hahaha. Saya juga tidak bisa menggambar manga 🙂

hanny

5 Responses

  1. waktu SMA aku jatuh cinta dengan komik Harlem Beat. Komik ciamik tentang bagaimana olahraga basket memberi warna pada persahabatan, cinta, profesi, dan prestasi.

  2. Saya setuju. Kalau menurut saya, pemilihan tersebut (meskipun saya tidak menontonnya) terkesan tidak tepat. Saya malah merasa gambar kartun akan lebih mengena daripada mengulas sejarah. Anak-anak seusia itu bukanlah umur yang doyan dengan sejarah (pengalaman dari melihat teman-teman di SMA dulu). Bahkan sampai sekarang, saya masih suka dengan komik (manga) dan animasi (anime). Mungkin para pengambil keputusannya mengira usia 15-an tahun sudah tidak minat dengan yang begitu-begituan. Tapi pernyataan begitu seperti mendiskriminasikan karya seni (manga dan anime) dengan (secara tidak langsung) menyatakan karya seni tersebit hanya layak untuk anak-anak 5 sampai 10 tahun. Tapi, meskipun demikian, toh masih ada orang dewasa yang menyukai hal-hal tersebut, bukan (seperti saya yang 19 tahun ini)?

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP