Beberapa minggu yang lalu saya sempat ‘ngampung’ bersama beberapa kawan lama. Pergi ke perkebunan teh dan nyeker menyusuri jalan-jalan kampung sambil menjinjing sandal jepit di bawah guyuran hujan. Nongkrong di warung kecil sambil ngopi dan makan gorengan murah ketika kaki mulai kram karena kedinginan (bandel sih, memilih nyeker). Kemudian merendam kaki di pinggir sungai kecil dan ngobrol-ngobrol seraya duduk-duduk di atas rerumputan basah. Beberapa orang merokok, beberapa lagi mengunyah keripik pedas yang sudah agak melempem.

Tapi tak mengapa. Kami bahagia.

Kemudian menjelang makan siang, kami turun ke sebuah warung Padang. Menyantap masakan pedas dan minum teh tawar hangat memang paling cocok di kala hujan. Saat itulah kebahagiaan saya sedikit meredup ketika salah seorang teman tiba-tiba saja menyinggung beberapa kawan yang hari itu absen dari reuni kecil-kecilan kami.

“Bukannya mereka memang nggak akan mau diajak jalan-jalan begini? Mereka kan nongkrongnya di mall. Di kafe. Biasa, kelompok elitis. Nggak mau bergaul sama masyarakat kelas bawah. Hedonis. Ignoran. Males juga gue kalo mereka gabung…”

Walau ucapan itu bukan ditujukan terhadap saya, tetapi sebagai orang yang juga suka nongkrong-nongkrong di kedai kopi di mall, saya merasa kesal juga mendengar kesengitan dan keangkuhan yang tersirat dalam kalimat itu.

Saya menikmati menghabiskan waktu nyeker di bawah guyuran hujan atau memilih sepatu di mall, sebagaimana saya juga tidak pernah berkeberatan makan di restoran Jepang, atau menyantap mie ayam di Melawai yang letaknya di dekat bak sampah (jorok memang, tapi enak, kok. beneran. hehehe).

Saya jadi kesal karena elitisme dibawa-bawa di sini.

Sejak kapan tempat tongkrongan seseorang menjadi barometer penilaian akan kepedulian mereka terhadap sesama? Saya tahu kok dulu teman-teman saya yang gemar clubbing juga sering duduk-duduk di lapangan parkir dan merokok bareng satpam dan tukang parkir di sana, mengobrol ngalor-ngidul sambil menunggu subuh…

Yang demikian itu apa juga bisa disebut elitis? Ignoran?

Entahlah. Rasanya terlalu dini untuk mencap seseorang demikian.

Yang jelas, buat saya, kalau mereka yang mengaku ‘peduli-dengan-masyarakat- kelas-bawah’ juga enggan bergaul dengan mereka yang suka nongkrong di mall–dan tak suka ketika mereka yang gemar wara-wiri dari kafe ke kafe ikut nongkrong bersama di warung kopi, tanpa disadari mereka juga sudah menjadi kelompok yang ‘elitis’–sebagaimana mereka istilahkan (atau tuduhkan).

Lagipula, bukankah kita tak ingin dikotakkan dalam kelas-kelas?

Kenapa kita tidak menerima semua orang dengan tangan terbuka, dan tidak buru-buru menghakimi? Bukankah kepedulian seseorang terhadap sesuatu tidak dapat dinilai berdasarkan apa yang nampak dari luar? Bukankah ketika tangan kanan memberi tangan kiri tak perlu tahu-menahu?

Dan benar, bahwa kita terkadang tak boleh masuk ke klub dengan mengenakan sandal jepit. Tapi rasanya tak pantas juga jika kita hendak jalan-jalan di gunung tetapi mengenakan sepatu stiletto dengan hak 7 senti.

hanny

5 Responses

  1. habis nongkrong di HI trus ke embassy, hahaha keren tho …

    dari jagung bakar ke salad..

    kopi tubruk ke coffee latte

    hahahha temen mu itu lucu han..

    pengalaman ku sih kopi tubruk lebih sedap itu karena udah kebanyakan coffee latte. ah bicara elitisme,idelisme, emang ada ya? pembenaran macam mana itu temen mu

  2. @iman: hehehe, jangan-jangan itu juga penyebab saya sakit waktu itu, mas iman :p

    @balibul: kopi tubruk emang enak buanget, tapi secara saya sudah kecanduan kopi, agak bahaya kalo kebanyakan minum kopi tubruk hehehehe 😀 ah, senangnya di HI… bisa bengong aja ngeliatin lampu2…

  3. Mungkin – ini cuma mungkin – ada kegetiran di balik kata-kata teman kamu itu, jujur saya juga pernah merasa seperti itu, ya sebuah perasaan inferioritas yang tak ketulungan yang melahirkan rentetan kata tak bermakna, setelah jungkir balik dan melang lang buana saya akhirnya tahu itu tak lebih dari perasaan inferior dan walk a mile in another man’s (or woman) moccasin benar-benar telah mengajak saya ke sebuah aufklarung…

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP