Lelaki itu pernah ragu. Mempertanyakan jalan yang kini ditapakinya. Apakah ini jalan yang benar untuk mencapai tujuannya?

Tetapi bagaimana mungkin seseorang mengetahui apakah jalan yang ia tempuh akan membawanya lebih dekat atau lebih jauh pada tujuannya; jika ia sendiri masih belum tahu tempat macam apa yang hendak ditujunya?

Jadi, apa yang harus dilakukan ketika seseorang berada dalam keadaan seperti itu?

Menapaki jalan yang ada sekarang, tanpa peduli apakah jalan itu akan membawanya lebih dekat atau lebih jauh dari tujuan (yang belum terpikirkan)? Atau berhenti sejenak, berpikir mengenai tempat mana yang hendak dituju, kemudian melihat peta dan mengambil jalan tercepat menuju ke sana?

Jika kita memutuskan untuk berhenti, sampai kapan kita akan berhenti? Satu hari? Satu minggu? Satu bulan? Satu tahun? Jika kita memutuskan untuk berjalan terus, bagaimana jika jalan ini hanya lurus–dan mengantar kita pada tujuan yang tidak kita inginkan? Tetapi, bagaimana jika ada sebuah tikungan di ujung jalan sana, yang bisa mengantar kita menuju tempat tujuan semula?

Mungkin dunia ini adalah sebuah labirin. Sebuah maze. Semakin sering kita berjalan terus, tersesat, terantuk, semakin baik kita mengenal jalan-jalan mana yang harus dilalui, mana yang buntu, mana yang rusak, mana yang berlubang; dan kita pun akan semakin mahir dalam menerka jalan mana yang akan menuntun kita menuju ke mana…

Sehingga ketika suatu waktu nanti kita telah menetapkan tujuan, kita akan tahu kemana harus melangkah. Seperti lelaki itu. Yang terus berjalan, dan pada akhirnya memilih cinta.

hanny

2 Responses

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP