Insiden itu terjadi tepat di perempatan kecil tak jauh dari Apartemen Prapanca.

Sebuah bajaj menabrak sebuah gerobak kosong yang ditarik seorang lelaki. Lampu depan bajaj itu pun terlepas dan menggelinding di jalanan, nyaris tergilas roda depannya sendiri; sementara si gerobak melenggang santai dalam kondisi sempurna—tak kurang suatu apa.

Yang kemudian terjadi adalah saya dan kawan-kawan yang terbahak-bahak di dalam mobil, dua orang Polantas yang melihat kejadian tersebut seraya menahan tawa, penarik gerobak yang tertawa keras terang-terangan, dan pengemudi bajaj yang nampak sedikit kesal, namun tidak berniat ribut-ribut. Untuk apa ribut-ribut? Bagaimana si pengemudi bajaj bisa menuntut ganti rugi pada si penarik gerobak? Siapa di antara mereka berdua yang mengasuransikan ‘kendaraannya’?

Insiden kecil pagi itu pun ditutup dengan derai tawa, sedikit gondok di hati bagi si pengemudi bajaj, dan tekad untuk melanjutkan hari yang masih pagi.

Kemudian saya teringat: beberapa minggu lalu, sedan seorang teman tak sengaja bersinggungan dengan SUV seorang ekspatriat dalam perjalanan menuju kantor. Dan insiden ini diikuti dengan tuntutan bertubi-tubi, klaim asuransi, tarik urat leher karena teman saya diminta menyediakan mobil pengganti untuk sang ekspatriat yang sebenarnya masih memiliki 2 buah mobil di garasi rumah mewahnya.

Benarkah bahwa semakin banyak yang kita punya; semakin besar keterikatan kita terhadapnya?

hanny

9 Responses

  1. Kelihatannya tidak juga.
    Karena bajaj itu tentu sangat besar artinya untuk si abang, his only tool to be a breadwinner. Bahkan dibandingkan SUV si ekspat, karena tanpa SUV itupun dia masih punya alat lain untuk mencari uang.
    Dan tentu lagi, si abang bajaj tidak berbuat apa-apa bukan karena dia tidak terikat pada bajajnya.

    Just my two cents, although I failed to see anything funny from the incident. He has to fix or buy a new lamp, from the nothing much he earned everyday. It is just sad instead of funny.

  2. Dear Silverlines,

    Yang saya kagumi dari si pengemudi bajaj adalah kemampuannya untuk tidak meributkan atau membesar-besarkan musibah yang dialaminya.

    Padahal arti 1000 rupiah untuk si pengemudi bajaj pasti lebih besar dari si pengendara SUV. Tetapi, si pengemudi bajaj bisa memahami adanya orang lain (penarik gerobak) yang lebih susah dari dia.

    Logikanya, jika bajaj itu satu-satunya hal yang dia miliki, dia akan mati-matian mempertahankan dan menuntut haknya.

    Tetapi, hebatnya, ternyata … dia tidak terikat secara materi hanya dengan bajajnya; tapi juga dengan orang lain di sekitarnya, termasuk si penarik gerobak!

    Justru karena si pengemudi SUV punya alat lain untuk mencari uang; seharusnya dia tidak tarik urat menuntut hal yang tidak-tidak, karena toh dia masih punya sekian banyak hal yang bisa dinikmati (ketimbang si pengemudi bajaj). Tapi nyatanya kok dia lebih ‘ngotot’ dari si pengemudi bajaj?

    Menurut saya hal ini dikarenakan keterikatan si pengemudi SUV pada mobilnya murni bersifat materi. Semakin banyak yang ia punya, semakin ia rakus.

    Si pengemudi bajaj hanya punya bajaj-nya, tetapi alih-alih terikat pada bajaj itu ia terikat juga pada sesamanya. Ada pengertian. Ada pasrah.

    The incident was quite funny if you see it on the spot. Everyone on the street was laughing at that time. I don’t know why. It was so spontaneous.

    Sure, it’s sad for the bajaj driver since he has to fix his lamp–but all in all, I admire the way he reacts to the whole situation.

    At least dia peduli pada keadaan si penarik gerobak. Sementara banyak orang yang lebih ‘mampu’ sering tidak peduli pada keadaan orang lain yang lebih ‘tidak mampu’ dari dirinya.

    Si tukang bajaj menurut saya adalah sebuah contoh mengenai bagaimana you can be “greater” than yourself…

  3. Makin banyak yang kita punya, makin terikat kita padanya. Mungkin juga.

    Karena itu, paling aman merasa tidak punya apa-apa. Jadi kalau pun hilang, kalau pun kita berikan kepada orang lain, kita tidak merasa kehilangan dan tidak menjadi sedih.

    Paling aman merasa tidak punya apa-apa. Karena dengan demikian, setiap hal sekecil apa pun yang datang kepada kita, selalu kita sambut dengan rasa syukur, sambil berpikir, “kok bisa, saya yang bukan apa-apa diberikan kepercayaan sedemikian besar.”

    Bapak bajaj itu punya rasa pasrah yang luar biasa, mungkin terasah oleh keadaan.

    Sementara Mr. Expat, tampaknya punya ketegangan yang luar biasa pula, sehingga hal seperti itu bisa membuatnya meledak. Mungkin terasah oleh keadaannya juga.

  4. Eva: Mungkin yang paling hebat adalah seseorang yang pernah memiliki segalanya; kemudian melepaskannya dengan kesadaran penuh bahwa ia tidak ingin terikat… duh, butuh ‘menyepi’ di sanctuary-mu. Kapan terwujudnya, nih? ;p

  5. Hmmm kalau memang ada di sana pasti kelihatannya lucu. I’ve been in a similar situation before. Tapi kasihan juga si abang.

    Anyway, waktu lewat Kemayoran minggu lalu, roda truk meledak persis di samping kita dan oleng. Now that was scary 🙂

    Oh ya Han, ini Winna FrenZy. Lagi coba pake blogspot, mau bikin blog Kenangan Abu-abu tp lom selesai.

  6. “Pernah memiliki segala kemudian melepaskannya”. Jadi mana yang lebih hebat? Bunda Teresa atau Oprah Winfrey? Mahatma Gandhi atau Bill Gates? Tidak tahu, dan mungkin juga tidak penting.

    Yang ada pada kita sekarang itu adalah segalanya. Adalah cukup. Kita-kita ini, yang bisa duduk-duduk sambil menulis atau membaca blog dan menyeruput secangkir teh hangat, saya yakin termasuk orang yang kecukupan, memiliki segala yang kita butuhkan.

    Saatnya kita menjadi orang terhebat itu dengan “melepaskannya” dengan kesadaran penuh bahwa kita tidak ingin terikat. Dengan melepaskan insya Allah kita akan bertambah kaya.

    Mengenai sactuary, sanctuary-ku tidak penting, Han. Rasanya Hanny sudah memiliki sanctuary pribadi yang lebih ‘custom-made’. Ketika ada senja. pena. kertas-kertas bekas. gerimis. dini hari. halaman-halaman pada sebuah buku bacaan. secangkir kopi. aksara. cerita. cinta. :).

  7. Hm…ini cerita yg cukup sedih di pagi hari. Moga ga akan lagi satir2 lain di pagi hari ya han…

  8. Seorang sahabat saya bercerita, Natal tahun lalu saat ia sekeluarga berlibur ke luar kota, rumahnya habis terkuras: TV flatscreen, hi-fi, komputer, uang simpanan ribuan dollar bahkan sepatu yang baru dibeli pun hilang tanpa bekas, rumahnya berantakan bak kapal pecah. Tapi ia bisa bercerita dengan ringan sambil tertawa-tawa. Saya kagum. Intinya ia mengatakan, toh sebelum ia punya barang-barang itu, he�s doing fine. So, why worry when somebody take it away? Ia tetap bersyukur bahwa si penunggu rumahnya tidak berada di tempat saat perampok beraksi.

    Hanya satu hal yang ia sesali: si perampok memajang beberapa vcd triple x koleksinya berjajar di tempat tidurnya. Padahal polisi dan beberapa staff sekuriti kantornya sudah berada disana saat ia datang….. Jadi ini pesannya kepada si perampok: �Ngrampok ya ngrampok…., tapi jangan bikin malu orang dong…..�

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP