Begitu keluar dari ‘pasar terowongan’ UKI, saya melihatnya. Itu dia! Bus MayaRaya hijau-putih menuju Bogor!

“Langsung, langsung!” teriak si kondektur.

Saya melompat naik dan mencari tempat duduk di sebelah depan, di antara dua orang Bapak berkacamata yang juga terlihat mengantuk, menyiapkan uang Rp. 6,000,- di ritsleting depan tas, kemudian bersiap-siap tidur.

Sepuluh menit berlalu dalam damai hingga ‘konser’ dimulai.

Pengamen yang beberapa waktu lalu masih bersiap-siap dengan kotak gitarnya, kini mulai berteriak-teriak memberikan ‘pengantar’ sebelum membawakan lagu pertama, yang menurutnya berjudul Moonlight on The Lake dari Michael Jackson. Saya pun bertanya-tanya dalam hati, sedikit curiga. Memang ada, ya, lagu itu?

Ternyata kekhawatiran saya menjadi kenyataan, karena si pengamen tiba-tiba menyanyikan lagu Sunda tentang dua orang kekasih yang tengah ‘bobogohan‘ (berpacaran) di pinggir ‘situ‘ (danau/kolam). Saya menggerutu dalam hati, bukan karena lagu Sunda itu, tetapi karena suara si pengamen yang sangat keras dan cempreng. Tetapi saya berusaha keras untuk bersyukur, karena masih untung suaranya tidak fals.

Saya mencoba memejamkan mata untuk tidur, tetapi sia-sia saja. Suara itu terlalu menusuk dan terlalu mengganggu, sehingga saya hanya bisa memejamkan mata. Lupakan tidur.

Tiba-tiba saya kangen pengamen favorit saya yang suaranya mirip sekali dengan Noe, vokalis Letto. Pertama kali mendengar dia bermain di atas armada AgraMas, saya terkejut mendengarnya membawakan lagu Letto, Ruang Rindu. Sempat saya berpikir bahwa dia tengah lipsync. Tetapi ternyata dia benar-benar menyanyikan lagu itu, live. Dan suaranya benar-benar mirip Letto. Sumpah.

Sepanjang perjalanan dia membawakan lagu-lagu dalam album Letto—dan saya berharap lalu-lintas Bogor-UKI lebih macet dari biasanya, hanya agar saya bisa menikmati pertunjukan itu lebih lama. Kalau saya menjalankan bisnis Wedding Organizer, mungkin saya akan memberinya kartu nama sehingga dia bisa bernyanyi di pesta-pesta pernikahan.

He’s good enough. I will let him sing in my wedding party if I’m about to get married (and if I can find him again).

Keberuntungan saya dihibur Letto di dalam bus hanya pernah terjadi 3 kali, dan dalam 3 kali kesempatan itu saya menyelipkan uang 20.000-an ke dalam kantung yang diedarkannya. He deserves it.

Tetapi sekarang saya ucapkan selamat tinggal pada Letto [sigh].

Sepuluh hingga lima belas menit berlalu dengan suara cempreng itu, yang entah kenapa terdengar semakin keras memenuhi gendang telinga saya. Saya mencari-cari earphone di dalam tas, tetapi tidak dapat menemukannya. Mungkin ketinggalan di atas meja kerja. Oh, baiklah… sudah nasib.

Kepala saya terasa pusing dan urat-urat leher saya terasa pegal. Rasanya saya ingin berteriak,”Kecilin suaranya bisa nggak, sih?” [tetapi tentu saja saya tidak melakukannya karena hal ini tidak sesuai dengan Pancasila dan tenggang rasa dan lain-lain … argh].

Tetapi kemudian pengamen itu memetik dawai-dawai gitarnya untuk memulai lagu berikutnya. Dan saya seperti membeku di tempat. Saya kenal denting-denting awal itu. Dan dugaan saya benar.

From my youngest years. ‘Til this moment here. I’ve never seen. Such a lovely queen.

Oh, Paint My Love-nya MLTR!

Saya ingat terakhir kali saya mendengarkan lagu ini. Suatu siang yang panas, ketika saya dan dia dan sekelompok teman tengah berjalan melewati rel kereta api menuju sebuah studio musik yang terletak di belakang sebuah department store. Saya dan dia berjalan bersisian. Dan tak sengaja, pada suatu waktu, tangan kami bersentuhan.

Hanya saya yang memperhatikan kala hal itu terjadi; dengan hati yang berdebar kencang dan ribut sendiri. Semuanya nampak seperti adegan di film-film. Ketika kereta api ekonomi itu menderu lewat, meniup ilalang-ilalang yang tumbuh di pinggiran rel menjauh, dan kita nampak demikian kecil jika dilihat dari kamera kecil yang diletakkan di balik awan.

Hati saya luluh ketika si pengamen membawakan Sleeping Child sebagai lagu penutup. Tidak mudah menyanyi di atas bis. Berdiri pula.

Jika kamu pernah berdiri di atas bus yang tengah melaju kencang, kamu akan tahu bagaimana sulitnya mengatur keseimbangan. Belum lagi jika kamu harus meletakkan dua tangan di atas gitar—dan tak bisa berpegangan. Kemudian kamu harus menyanyi; dan suaramu harus stabil…

Ah, baiklah. Dua lagu yang meluluhkan hati. Pengamen itu (masih dengan suara cempreng) menutup ‘perjumpaan’ kami dengannya malam ini, dan mengedarkan kantung permen, dimulai dari bangku depan. Dan saya pun merogoh lembar-lembar yang tersisa di ritsleting depan tas, dan memasukkan beberapa lembar ke dalam kantung yang diedarkannya.

He deserves it.

hanny

3 Responses

  1. hm.. hanny, kamu membuat saya ingin mencari keberuntungan bertemu mereka ^^ ohohoho.. memang suatu kesenangan tersendiri ^^

  2. hanny …, can’t believe you did it!

    ini layla …, lama nggak liat postinganmu di kemudian jadinya aku kesini. dan teteup, kekuatan baris-baris dan inspirasi kata ‘saya’ itu tidak mengalami atenuasi (istilah gelombang mikro) sedikitpun.

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP