Semoga dia tidak berkeberatan–dan tidak menganggap ini sebagai sebentuk ‘pelanggaran hak cipta’.

Hanya saja, buat saya, komentar yang satu ini terlalu indah untuk tersembunyi dalam sebuah link kecil bertuliskan comment. Dia harus mengada di sini. Satu komentar pendek tentang ini pada suatu hari yang gerimis, yang membuat saya kehilangan kata-kata.

Komentar indah ini milik dia, seorang teman dan penulis berbakat 🙂

Ya, aku mencintai sebuah perjalanan. Aku menikmati setiap langkah ketika berjalan pelan-pelan. Ruang dan waktu bergerak sangat pelan; melodramatis yang membuat senja lambat terbenam. Ketika segala sesuatu tidak berjalan seperti yang kuinginkan, aku ingin berlari… Berlari dan berlari. Ruang dan waktu berkelebat hanya untuk menyaksikan aku yang bergeming mengacuhkan mereka.

Ketika aku sampai, kamu bertanya, “Bagaimana kamu sampai ke sini?”

Aku akan tersenyum. Tak soal. Aku sudah menemukanmu…

Setuju kan, kalau saya katakan komentar ini terlalu indah untuk tidak dipajang di sini? 🙂

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

It’s raining,
I’m waiting …
but it’s not happening.

I’m sad 🙁

——————————–

*Saya setengah berharap saya tidak peduli. Ingin berpura-pura tidak peduli. Tapi saya peduli. I do care. And it makes me sad even more …

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

“Sampai lampu-lampu di terowongan tuh jadi oranye blur. Somehow lampu-lampu mobil dan lampu jalan seperti menyatu jadi pita-pita panjang berwarna oranye, merah, dan putih.”
:Being Alive, August 2005


Dulu, saya menikmati hidup yang bergerak dengan kecepatan di atas 160 km/jam. The most important thing back then was to get there. Sekarang saya tidak keberatan untuk menurunkan kecepatan hingga 60km/jam. Karena yang terpenting adalah: how to get there.

Karena semua yang mengabur tidak lagi indah.

Saya masih suka duduk di jok belakang, meskipun kini saya jadi lebih senang berjalan kaki. Karena semua yang bergerak pelan bisa membuat saya lebih intens mengamati. Dan saya jadi tahu apa-apa saja yang sudah saya lewati dalam hidup ini. Sehingga pada akhirnya kepingan-kepingan puzzle itu menyatu dan membentuk sebuah gambar yang bisa saya mengerti. Sehingga tidak akan jadi masalah jika beberapa kepingan itu hilang suatu saat nanti.

Karena saya sudah cukup menikmati segalanya, selagi kepingan-kepingan itu masih ada.

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

Ah, gara-gara percakapan singkat dengan dia, saya jadi asyik mengkhayal …

“Mungkin nggak ya, saya dikasih cuti sebulan, menyepi di tempat terpencil yang nggak ada akses internet, TV, maupun telepon, dan cuma terus menulis dan menulis dan menulis …”, dia berangan-angan.

“Mauuu!!!” saya menjawab seketika. “Saya rela cuti 1 bulan walaupun nggak dibayar!”

“Saya juga nggak keberatan,” ia menimpali dengan penuh semangat. “Yang penting saya punya waktu untuk menulis …”

Dan saya pun berpikir, adalah suatu kemewahan tersendiri jika hal ini sungguh-sungguh terjadi.

Meskipun demikian, saya menikmati mencuri-curi waktu di akhir minggu, untuk mengurung diri di kamar dan menulis … berhenti untuk membaca ketika merasa sudah kehabisan ide, kemudian menulis lagi, berjam-jam … ditemani bercangkir-cangkir kopi.

Lagipula … apakah ada jaminan bahwa saya bisa merampungkan sebuah obsesi dengan cuti 1 bulan dan menyepi? Ataukah keterdesakan dan keterbatasan yang ada di tengah kesibukan yang menggila justru membuat pencapaian obsesi ini akan terasa lebih menyenangkan?

Saya harus kerja besok pagi. Malam ini mungkin saya hanya bisa menyepi sampai tengah malam. Tak apalah. Besok malam saya punya waktu sampai pukul 3 dinihari. Seperti biasa …

Masih memiliki waktu-waktu seperti ini juga merupakan satu bentuk kemewahan tersendiri.

Mungkin 1 bulan menyepi itu terlalu berlebihan, meskipun saya sungguh-sungguh menginginkannya–seperti orang-orang yang sudah merasa cukup senang mendapat hadiah 100 juta rupiah di kuis Who Wants to be A Millionaire tetapi tidak akan menolak keberuntungan mendapatkan hadiah utama sebesar 3 milyar.

IMG. http://www.weekapauginn.com/pages/images/typewriter.jpg

hanny
WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP