Pagi itu, gambaran dunia meledak dalam benaknya yang menyesak. Such a compact world, pikirnya, sambil mengirimkan SMS ke sebuah nomor yang nyaris hangus dibakar cemburu.

Pertanyaan itu terlontar ketika kopi mereka tinggal menyisakan seonggok ampas di dasar gelas: bagaimana jika dunia ini berbentuk segiempat, dengan empat pojok di setiap sudutnya?


The Coffee Bean & Tea Leaf pagi itu tidak menyediakan apapun selain racikan kopi dingin. Jika dunia ini adalah satu pak kartu Tarot, saya pasti sudah membaca gelagat ini sebagai sebentuk pertanda. Tetapi dengan segelas kopi di tangan, kami pun melewati pintu kaca itu menuju udara terbuka.

“Nggak apa-apa, kan, kalau kita duduk di luar? Saya harus merokok,” kamu berkata.
Dan saya tahu bahwa ternyata kamu memang sedang sungguh-sungguh jatuh cinta.

Utopia mengenai cinta yang membebaskan jelas tidak termasuk dalam satu paket yang kamu ambil ketika kamu memutuskan untuk jatuh cinta padanya. Atau cinta memang serupa kantor pos yang seringkali menyampaikan kiriman paket yang tidak lengkap. Dan kamu merasa tidak lagi utuh, seperti baru menerima sekotak paket yang sudah dibuka separuh.

Kebebasan justru membuat kamu diliputi sejuta keraguan–karena kebebasan bisa berarti bebas terbang kemanapun kamu suka; sekaligus bebas diketapel…

Kebebasan yang kamu cari datang melalui sebuah pojok.
Kebebasan untuk melihat dia sebagaimana kamu ingin melihatnya.
Seperti ketika kamu pertama kali bertemu dia di toko buku yang sama, pada suatu malam.
Dan kamu pun pergi ke toko buku itu lagi, beberapa hari kemudian.

Kisahnya dimulai ketika kamu duduk di sebuah pojok–seharian, berharap dia datang. Menunggu. Bayangannya mengisi rak-rak buku di sekitarmu dengan novel-novel tentang cinta.
Tentang kalian berdua.
Novel-novel yang hanya berisi Bab 1 saja.

Kita pun tertawa.

Mengapa kita berdua memilih mengambil paket cinta di sebuah toko buku?
Apakah kita tertipu oleh stereotype sosok introvert berkacamata yang menghabiskan sepanjang malam di sebuah toko buku yang lengang?
Apakah ini gambaran kita tentang masa depan, cermin dari hal-hal yang kita inginkan—tetapi bagaimana kita tahu cermin itu memantulkan bayangan yang benar?
Bagaimana jika cermin itu cembung?
Atau cekung?

Mengabaikan semua kemungkinan itu, setelah kamu selesai membeli satu pak rokok lagi, kita berjalan menuju toko buku itu. Semacam ziarah cinta: penghormatan terhadap hal-hal yang terlewatkan tanpa kata selesai terucapkan.

Dan kita sama-sama menahan napas ketika melihat sebuah gembok berantai mengelilingi toko buku itu. Kertas-kertas putih membungkus kaca-kacanya yang biasa kita gunakan untuk mengintip cinta di dalamnya.

“It sucks!” kita berteriak dengan level emosi yang tidak akan dimengerti orang-orang yang kebetulan lewat.

Tiba-tiba bayangan itu meledak dalam benak saya.
Gambaran dunia yang berbentuk lingkaran. Bulat sempurna; tanpa pojok-pojok di setiap sudutnya. Akankah kita tercerabut dari akarnya jika dunia menjelma sebuah lingkaran tanpa sudut-sudut yang menenangkan itu?

——————————————
IMG. http://images.splendora.com/reviews/losangeles/coffeebean_030171b.jpg

hanny

5 Responses

  1. hey
    kamu mesti membuat buku
    harus
    *dan saya membayangkan ada dalam antrian mengular, memintamu menggoreskan penanda di halaman pertama buku mu ;)*

  2. Attaaa (*tight hugz*) … !!! ^.^
    Kamu terlalu baik dan membuat saya senyum-senyum sendiri. Pagi ini dunia saya menjadi jaaaauuuh lebih indah … Terima kasihhh! 🙂

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP