Saya melepaskannya.

Saya menyadari hal itu ketika pada suatu pagi yang basah dan diguyur hujan lebat, bayangannya melekat di kaca jendela yang tengah saya pandangi. Melesak ke dalam benak saya dan membuat huru-hara di sana; tetapi hati saya tidak bersuara. Ini aneh. Karena biasanya ketika ia menampakkan wujudnya dalam setiap benda-benda transparan yang saya lewati, saya akan menghabiskan sisa hari dengan melamunkan dia dan mengasihani diri sendiri, seperti yang selalu terjadi selama 3.285 hari belakangan ini.

Dengan gundah, saya pun mulai membongkar kembali kesembilan buku harian saya dan kembali ke masa lalu. Tidak ada rasa dingin itu, yang menjalari jari-jemari saya setiap kali saya menelusuri namanya di atas halaman-halaman itu. Saya seperti mati rasa, dan yang terlintas dalam pikiran saya hanyalah betapa buku-buku harian saya selalu terlalu cepat habis karena saya terlalu banyak menulis tentang dia.

Foto-fotonya terselip dalam setumpuk kenangan lama yang saya abadikan dalam sebuah kotak kayu berwarna coklat–bersama sosok-sosok lain yang pernah singgah dan tersingkir seiring berlalunya waktu. Teronggok di samping buku-buku harian saya, kotak itu membukakan pintu bagi saya untuk melihat dia lagi–dia ketika dulu, yang pernah membuat saya merasa begitu istimewa. Tetapi hari itu, pandangan saya pada siluetnya tidak meledakkan utopia tentang saya dan dia di masa depan.

Ini ganjil. Karena biasanya semua ritual menyedihkan itu akan membuat hati saya berantakan dan ribut sendiri.

Tapi kali ini saya melewatinya seperti rasa cukup yang menerpa ketika saya mulai terlalu banyak mengkonsumsi sate ayam. Makanan yang benar-benar saya sukai, namun ketika frekuensi santapan itu telah mengintens menjadi sekali seminggu, tiba-tiba saja kenikmatannya menjadi tidak terasa lagi.

Meraih telepon genggam yang berkedip-kedip, saya sadari bahwa sebaris peringatan telah lama berpendar di sana. Inbox saya sudah terlalu penuh. Tanpa rasa sayang dan pikir panjang, tiba-tiba saja saya sudah menghapus semua sms-nya yang selama nyaris setahun belakangan ini sengaja saya simpan, untuk diintip kembali tiap kali saya merasa bosan.

Kali ini tidak ada sesal. Sudah terlalu banyak sampah yang berlama-lama saya tumpuk dalam Nokia 6020 saya. Membuang sampah-sampah itu seperti memberi kebebasan bagi si telepon genggam untuk bernapas lega. Ia menjadi sehat dan hidup kembali, sehingga mampu mengantarkan pesan-pesan baru dengan kecepatan yang luar biasa.

Tengok ponsel saya sekarang. Dan namanya tak ada lagi di urutan paling depan maupun paling belakang. Kehadirannya tak akan terlacak dalam jajaran inbox, outbox, maupun saved text message. Nama-nama lain bermunculan di sana. Sedikit demi sedikit, nomor-nomor baru memenuhi inbox saya–dan saya bersyukur karena saya punya lebih banyak ruang untuk menyimpan pesan-pesan baru itu; pesan-pesan baru yang enggan untuk saya hapus …

Dalam satu lompatan waktu yang sudah terlalu genting, saya berdiri di depan setumpuk kenangan itu. Sekarang, atau tidak sama sekali. Melompat pergi, atau bersiap-siap jatuh lagi. Saya memandangi masa lalu itu untuk yang terakhir kali. Menggigit bibir bawah berulang kali dan menabah-nabahkan diri.

Kemudian saya berbalik pergi. Meninggalkannya. Tidak ada kata-kata perpisahan. Tidak ada drama. Tidak ada air mata. Hanya secangkir kopi, sepotong bakpao ayam, serta buku oranye Seth Godin, Unleashing The Ideavirus. Saya pun terjaga sampai pukul 4 dini hari. Mendengarkan gemericik hujan yang tidak berhenti-berhenti.

Saya jatuh tertidur, dan membuka mata menjelang pukul 5 pagi. Menatap nyalang langit-langit kamar dan mematikan alarm ponsel yang baru satu menit lagi akan berbunyi. Hujan masih belum berhenti.

Dan saya masih memutuskan untuk tidak kembali.

Karena penyesalan-penyesalan yang dulu pernah ada, sekarang bukan lagi milik saya. Saya melepaskannya. Karena telah tiba saatnya, ketika semua kebahagiaan yang saya rasakan bukan lagi tentang dia.

hanny

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP