Kemarin pas balik dari kantor dan mau naik bis di UKI, saya sama lil-Q ngeliat bis AGRA MAS ke Bogor yang gak pake AC. Tapi karena berpikir bis itu bakalan lebih cepet jalan daripada bis Bogor yang ber-AC, maka melompatlah kita berdua ke dalamnya dan duduk agak ke belakang, di bangku yang buat bertiga. Supaya legaaa.

Pas bisnya udah jalan dan lampu dalemnya mulai dimatiin, I feel the thrill … the excitement … kenapa? Karena bisnya ngebut! Hahaha. Nggak tau kenapa, saya suka banget dibawa ngebut. Apalagi di jalan tol. Tapi ngebut di sini ngebut yang pake perhitungan, ya. Maksudnya, yang nyetir memang harus jago ngebut, udah lihai, dan yang paling penting: harus pinter nyalip. Bukan tipe-tipe orang yang main kebut aja tapi bentar-bentar nge-rem mendadak dan bikin kepala jadi pusing.

Serunya lagi, dari jaman dulu sampai sekarang saya selalu aja punya temen-temen yang jago ngebut. Mulai dari jaman SMA waktu ngurusin Recis Fiesta ke Jakarta, ada Steven sama Evan yang asik banget ngebutnya (apalagi kalo denger bunyi knalpot racingnya itu, lho!).

Udah gitu, di antara “gank” Bogor, ada Amon yang kalo suasana hatinya lagi senang bisa ngebut dengan mulus (tapi kalo lagi jutek ngebutnya kayak orang mau bunuh diri). Ternyata masih ada regenerasi juga … ada Mumz, muridnya Amon yang sering disetan-setanin saya dan Cathy untuk membalap mobil-mobil dengan pengemudi keren sepanjang jalan tol on the way home from campus.

Terus di Jakarta sendiri ada my soul sister, Ditik, yang walaupun badannya mungil tapi nyalinya gede banget. (Inget banget pas kita balik dari Grande jam 11 malem dan ngebut ke Bogor dengan kecepatan maksimum, sampai lampu-lampu di terowongan tuh jadi oranye blur).

Balik lagi ke bis AGRA MAS non-AC tadi malem, kebetulan jalan tol-nya memang rada kosong, dan supir bisnya keren juga ngebutnya. Kenceng tapi gak bikin pusing, dan mulus banget cara dia pindah dari jalur kanan ke tengah, ke kiri, sampai ke kanan lagi. Seruuu!!! Apalagi saya duduk di deket jendela, dan ngeliat keluar ke gelapnya malam … somehow lampu-lampu mobil dan lampu jalan seperti menyatu jadi pita-pita panjang berwarna oranye, merah, dan putih. Bagus banget. Apalagi saya buka sedikit celah di jendela, jadi bisa denger hembusan angin yang kenceng abis …

Mungkin memang rada-rada gila juga, seneng dibawa ngebut di jalan tol. Mungkin ada perasaan “escaping” yang nggak bisa dijelasin waktu lagi dibawa ngebut gitu. Ada perasaan “pasrah” sama yang lagi nyetir, di sisi lain ada juga semangat yang meledak-ledak karena rasaya kayak lagi main simulator (atau main Grand Turismo di PlayStation) and being a part of the game.

Orang yang nyetir mungkin nggak bisa senikmat saya. Karena deep down inside, mereka sadar bahwa mereka lagi megang nyawa orang di tangan mereka. Tapi saya? Yang duduk di jok belakang dengan wajah menempel di jendela, merasa nggak punya beban apa-apa. Lepas. Menggantungkan hidup sama orang yang ada di belakang kemudi.

Untuk sesaat merasa bahwa pada detik ini, anything could happen to me … saat-saat ketika langit dan bumi sepertinya jadi satu, dan detak jantung menjadi semacam musik hipnoterapi yang justru membuat kita merasa tenang. Damai. Merasa … hidup. Mungkin efeknya seperti orang-orang yang kecanduan extreme sports seperti paragliding atau bungee jumping.

On the other side, you can feel your heartbeat during yoga meditation. Walaupun saya latihan hatha-yoga (lebih untuk menyehatkan tubuh dan bikin kita keringetan walaupun gerakannya nggak pake loncat-loncat), di sela-sela cooling down biasanya kita meditasi sambil tiduran gitu. And you can hear your heartbeat. You can feel it. And finally, you ARE your heartbeat. Mungkin bakal lebih seru lagi kalau saya nyoba meditative yoga yang mengharuskan kita untuk mengheningkan pikiran, trus memejamkan mata, dan menenangkan diri sambil dengerin musik-musik Zen gitu.

Anyway, saya rasa setiap orang rindu akan perasaan of being alive. Kesibukan sehari-hari membuat kita sering nggak sadar akan keistimewaan HIDUP itu sendiri. Ada orang-orang yang berusaha melepaskan kerinduan mereka terhadap gimana rasanya hidup dengan melakukan hal-hal yang menyerempet bahaya. Soalnya, kegiatan menyerempet bahaya itu deket banget sama yang namanya kematian. Dan perasaan deket sama kematian itu pasti ngasih kita the thrill of being alive. The thrill of breathing. The thrill of seeing, hearing, believing …

Di sisi lain, ada juga orang-orang yang berusaha melepaskan kerinduan mereka terhadap gimana rasanya hidup dengan mengosongkan pikiran. Karena untuk merasakan hidup, you’ve got to let go off your mind. Merasakan itu kan nggak pakai otak. Merasakan itu pakai hati. Dan di tengah kesibukan kita, kita sering menyamakan yang namanya kehidupan itu dengan aktifnya fungsi otak (padahal orang yang punya otak tapi nggak punya hati bisa diibaratkan mumi).

Saya sendiri, memilih untuk melakukan kedua-duanya. Ngebut—dan yoga. Dua-duanya memberikan excitement tersendiri yang membuat saya merasa lebih hidup. Memiliki experience for being alive. Consciousness that we’re all living beings …

Between life and death …
Free your mind …
Free your soul …

Dan pada saat-saat seperti itu, yang ada dalam benak kita bukanlah ketakutan atau ketegangan. Bukan juga kegembiraan yang berlebihan. Bukan emosi. Pada saat-saat seperti itu ada kedamaian yang aneh yang menyelusup dalam hati kita. Ketika kita tidak berpikir dan cuma merasa. Dan tiba-tiba terlintas wajah-wajah mereka yang kita cintai …

Karena satu-satunya saat di mana kita merasa HIDUP adalah saat ketika kita tengah dicintai, dan mencintai seseorang.

hanny

If you made it this, far, please say 'hi'. It really means a lot to me! :)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

WANT TO SHARE WITH SOMEONE WHO NEED THIS?

READ MORE:

Legs and Apples
Do it because it’s fun. Because it brings you joy; because it’s meaningful to you. Do it because it gives you simple tiny pleasures. Do it because it makes you smile.
The view from De Klok
I took another digital detox this weekend—I limited myself to a 5-minute screen time on Saturday and Sunday to quickly check my business account. I closed my social media account for the rest of the days.
Hanny illustrator
Hi. I'm HANNY
I am an Indonesian writer/artist/illustrator and stationery web shop owner (Cafe Analog) based in Amsterdam, the Netherlands. I love facilitating writing/creative workshops and retreats, especially when they are tied to self-exploration and self-expression. In Indonesian, 'beradadisini' means being here. So, here I am, documenting life—one word at a time.

hanny

TAKE WHAT YOU NEED
VISIT THE SHOP